RSS

Arsip Kategori: KEBUDAYAAN

Mengenal budaya, Membangun Bangsa.

TRADISI BERLADANG RAKYAT WERA SUKU BIMA (MBOJO)

OLEH
Muhamad Yunus

Aktivitas berladang telah dilakukan secara turun temurun, bagi kebanyakan mas-yarakat di Dana Wera, aktifitas berladang merupakan warisan leluhur yang menjadi tradisi dan diwariskan secara turun temurun, begitupun bagi masyarakat dibeberapa daerah lainnya. Tradisi berladang ditandai dengan kehidupan diatas gunung dan masyarakat menggarap ladang berpindah-pindah dari gunung yang satu, ke gunung lainnya. Lakah ini juga ditempuh sebagai sebuah upaya pe-menuhan kebutuhan tambahan dalam rangka bertahan hidup, juga usaha menjauhkan diri dari kemiskinan. Selain itu, perpindahan dan penyebaran penduduk, sangat dipengaruhi oleh tardisi berladang rakyat yang berpindah-pindah.

Dikala memasuki musim ladang, mu-lailah belangsung interaksi antar masyarakat berkenaan dengan perencanaan yang diawali dengan musyawarah (mbolo ro dampa). Ke-mudian laki2 mulai sibuk mempersiapkan seluruh peralatan (batu asah/kamalo, parang/-cila, kapak/ponggo, maupun tembilang/cu’a, serta alat lainnya) untuk di gunung dan perempuannya menyiapkan bekal tuk makan dan minum. Itulah pembagian kerja dalam mecapai tujuan bersama.

Setelah seluruh peralatan telah disiap-kan, dimulailah proses pembabatan kayu (ngoho) pada lokasi yang kelak dijadikan ladang (oma). Pada proses pembabatan/-penebangan kayu dilakukan oleh laki2, seme-ntara penanaman dilakukan oleh perempuan. Pembabatan dilakukan berhari-hari, kadang menempuh waktu yang cukup lama jika lahannya cukup luas. Untuk mempercepat, biasanya dengan membiayai masyarakat lain-nya untuk membantu pembabatan atau pene-bangan. Setelah penebangan kayu selesai, kayu yang telah di tebang, dibiarkan menge-ring beberapa hari, kemudian dimulailah tahap berikutnya yakni pembakaran. Tahap ini dianggap sangat penting karena akan sangat menentukan tingkat kesuburan tanah jika proses pembakarannya dilakukan dengan baik. Jika yang terjadi ialah sebaliknya, justru akan menyulitkan penanam dikala menanam padi, dan tanah tak terlalu subur jika tidak dilakukan pembakan dengan dengan baik. Pembakaran kayu-kayu yang telah ditata dengan rapi, dilakukan dikala memasuki waktu siang hingga sore hari.

Sebelum memasuki waktu penanaman padi, telebih dahulu ritual adat dilaksanakan diatas bukit, disertai dengan do’a bersama dan musyawarah. Proses tersebut berlangsung dengan dipimpin oleh orang “tua” atau orang yang percayakan sebagai tokoh masyarakat yang berladang dilokasi tersebut.

Pada tahun 1999, di puncak gunung lalumonca menjadi pusat ritual adat. Adapula lokasi lain yang menjadi pusat pelaksanaan ritual adat berdasarkan territorial ladang mas-yarakat. Namun sebelum sampai pada pelak-sanaan ritual, sejumlah masyarakat yang me-miliki lokasi ladang di gunung lalumonca menyiapkan bekal untuk mengikuti ritual adat.

Dua atau tiga hari sebelum pelaksana-an ritual adat, seseorang diantaranya meng-gambarkan waktu pelaksanaan ritual, bahan yang harus dipersiapkan, serta lokasi yang akan menjadi tempat pelaksanaan. Proses penyampaiaan dilakukan dengan mendatangi rumah, beranjak dari rumah kerumah agar semua penduduk yang berladang memper-siapkan seluruh bahan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan ritual adat dan datang tepat waktu, sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.

Bahan yang disiapkan diantaranya; nasi kuning, nasi putih, nasi santan, pisang matang, kelapa yang masih utuh,  beras yang sudah direndam kemudian dihaluskan dan dicampur dengan kelapa (Karo’do), mange-mada, ayam (putih & hitam), daun sirih & pinang (nahi ro u’a), serta tembakau (tambaku).

Diwaktu sore, semua penduduk yang yang akan mengikuti prsoses ritual adat beranjak ke lokasi yang menjadi pusat pelaksanaan ritual adat tersebut. Do’a dan puji-pujian dipanjatkan bersama, dengan harapan semua orang yang berladang, tanamannya terhindar dari beragam bala dan penyakit, kemudian mendapatkan hasil yang banyak dan bermutu dikala panen.

Selain itu, hal penting yang dilakukan ialah penetapan waktu penanaman, sekaligus pembagian tugas untuk urusan pemagaran, dan ada salah seorang yang ditunjuk dan dipercayakan sebagai punggawa. Punggawa ialah orang yang akan mengkoordinir proses pemagaran, posisi gubuk serta hal lain yang dianggap penting dalam menjalankan aktivitas berladang. Biasanya dalam musyawarah dibuatkan kesepakatan tentang berapa meter yang akan dipagari perorang, jenis pagarnya, dan tiangnya. Dalam hal gubuk, setiap gubuk yang dibangun harus mengikuti arahan punggawa berkenaan dengan posisi gubuk, karena menurut kepercayaan masyarakat, jika posisi gubuknya salah, akan memberi dampak negative seperti adanya bala dan penyakit pada tanaman, serta dapat menjadi sebab kurangnya curah hujan. Posisi gubuk mesti mengikuti lereng gunung, dengan menyamping, dan tak boleh satupun gubuk menghadap langsung (berhadapan) lereng gunung, karena akan menyalahi tradisi yang telah diwarislan secara turun temurun.

NGGU’DA RO SAGELE

Penanam padi di ladang biasanya terdiri dari perempuan baik yang tua maupun muda. Perempuan-perempuan itu dipanggil khusus sebagai penanam, di antaranya ada yang di upah/gaji dengan memberikan uang tunai, beras, padi, adapula yang membantu dengan kesepakatan, dikala orang tersebut menanam padi diladangnya, akan dibantu kembali (cepe/cempe rima, weha rima).

Pada waktu pagi… semua perempuan yang di panggil sebagai penanam padi telah siaga untuk melangsungkan penanaman. Selain penanam, terdapat pula seseorang yang mengiringinya dengan biola atau gambus, perpaduan keduangnya dalam bahasa bima di sebut “nggu’da sagele”.

Ndiri ro sagele merupakan sebuah harmoni yang hidup dalam tradisi penanaman padi di ladang. Sagele dapat dilakukan dengan “biola” yang disebut juga dengan ndiri, alat lainnya yang biasa juga di gunakan yakni gambus (gambo). Kadangkala di iringi dengan lagu-lagu khas dana mbojo, seperti haju jati, jaraledo, wadu ntanda rahi, sangiang, dan lain sebagainya.

Biasanya, proses penanaman padi di ladang akan lebih cepat jika di iringi dengan alunan biola atau gambus. Penanaman akan dilakukan secara serentak, syarat dengan kebersamaan.

Alat yang digunakan semacam tembilang (cu’a sagele) yang di rancang khusus untuk menanam padi di ladang, terbuat dari sebilah besi, bentuknya memanjang, panjang sekitar 20 hingga 30 cm, lebarnya satu atau satu setengah senti meter. Di bagian ujung atas tembilang, terdapat sebuah lubang, yang sengaja di buat untuk dimasukan kayu sebagai gagang dikala menanam. Gagangnya terbuat dari sebantang kayu (Haju Luhu) yang telah di desain dengan baik dan berdiameter sekitar 8 cm dan panjang 80 cm.

Bahan yang ditanam selain padi, ada pula jagung, wijen, gandum, mentimun, labu, serta umbi-umbian lainnya. Beberapa tanaman tambahan merupakan bahan pelengkap berupa sayur mayur selama menjalani hidup diladang, kadangkala umbi-umbian yang dipanen itu dijual pula dipasar.

Ketika memasuki musim panen, prosesnya hampir sama dengan musim tanam, yang terlibat sepenuhnya ialah perempuan, perbedaannya yakni alat yang digunakan untuk memanen berupa pemotong padi yang dalam bahasa bima disebut “kentu”. Kentu digunakan khusus untuk padi gunung, sedangkan sabit (rombe) digunakan untuk panen padi yang biasa ditanam disawah. Padi yang telah dipanen oleh perempuan, kemudian di ikat (to’do) agar bisa di letakan dengan baik diatas pemikul. Untuk padi gunung, dibawa pulang kerumah dengan dipikul (Lemba) oleh laki-laki dan perangkat pikulnya terbuat dari bamboo (o’o) yang dirancang khusus untuk alat pikul padi, gandum dan beberapa hasil panen lainnya. Perempuan bisanya menjunjung (su’u) yakni meletakan padi diatas kepala, padi yang telah dikemas dengan sarung atau kain itulah yang di junjung oleh perempuan.

Dalam aktifitas berladang tercipta harmoni hubungan laki-laki dan perempuan, harmoni hubungan manusia dengan alam. Harmoni kehidupan laki-laki dan perempuan ditandai dengan pembagian kerja yang baik untuk mencapai tujuan, menciptkan keseimbangan peran, karena kesatuan peran keduanya ialah saling melengkapi.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Desember 12, 2012 inci KEBUDAYAAN

 

KEBUDAYAAN; MENJEJAKI HARMONI KEHIDUPAN

Oleh Muhamad Yunus Anwar

Dalam Memahami masyarakat tentunya berangkat dari kumpulan individu yang menempati suatu wilayah atau territorial tertentu(geografis), kemudian terdapat pula system dan pola yang terkandung didalamnya, entah berkaitan dengan norma, aturan, tata nilai, tradisi atau budaya yang menuntun masyarakat menuju tujuan kolektif yang hendak dicapai.Olehnya itu, dalam ruang social (social space) terdapat tradisi, adat istiadat, tata nilai, dan budaya yang mengikat masyarakat dalam mengarungi samoedra kehidupan.Budaya menjadi salah satu unsur yang membentuk masyarakat sehingga masyarakat memiliki watak dan karakter.Budaya juga memiliki muatan penting berkenaan dengan sejarah, falsafah dan kearifan local sebagai landasan gerak masyarakat.Pola hidup masyarakat bergantung sungguh pada budaya yang terdapat dalam masyarakat tersebut, entah berkenaan dengan keharmonisan hidup ataupun sebaliknya.Untuk itu tatanan masyarakat yang beradab ataupun tidak beradab sepanjang sejarah manusia sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat.

Sejarah menjelaskan bangunan kebudayaan dalam sebuah tatanan masyarakat, nah melacak kembali sejarah pastinya terdapat pergeseran kebudayaan dalam setiap masa dan zaman.Pergeseran kebudayaan terjadi karena ada nilai yang diusung oleh masyarakat, kemudian terjadi pertarungan nilai (baik dan buruk).Sebenarnya Budaya memiliki muatan nilai yang baik, namun dikala dipertautkan dengan fakta sejarah terdapat individu (manusia) yang melakukan keburukan atau kejahatan kemanusiaan, sehinggal hal tersebut menggerakkan sejarah lalu terjadi benturan.Benturan kebudayaan itulah yang menyebabkan terjadinya pergeseran budaya.

Setiap bangsa memiliki entitas kebudayaan yang berbeda antara satu dengan yang lainya. Indonesia digagas atas dasar konsep “nation state”(Negara Bangsa), Negara (state) menjelaskan batas territorial sedangkan bangsa (nation) memberikan pengertian berkenaan masyarakat Indonesia yang majemuk. Kemajemukan tersebut dapat ditilik dari tradisi, budaya, agama, suku dan bangsa yang beragam.Oleh karena terdapat beragam bangsa maka beragam juga kebudayaan dan tradisi masyarakat Indonesia, mulai dari sabang sampai merauke.

Masyarakat Papua, Sulawesi, Kalimantan, Jawa, Sumatera, Aceh, Bali, Lombok, Sumbawa dan Bima masing-masing memiliki entitas kebudayaan. Artinya Dana Mbojo (Bima) memiliki latar belakang sejarah dan tradisi serta budaya tersendiri yang membedakan masyarakat bima dengan yang lain. Budaya Bima menjadikan masyarakat memiliki identitas, maka tercerabutnya identitas masyarakat merupakan tercerabutnya maksyarakat bima dari akar kebudayaan.Tentunya masyarakat bima memiliki tradisi dan kebudayaan berkenaan dengan falsafah hidup, kearifan local, serta ritual kebudayaan yang diwariskan secara turun temurun. Muatan falsafah hidup, kearifan local, serta riutual budaya mbojo tersebut misalnya“toho mpara ndai sura dou marimpa, toho mpara ndai sora dou lab’bo dana, maja la’bo dahu, ngaha aina ngoho, lembo ade, kasa’bua renta la’bo rawi nde’I ka nda’di, nggahi rawi pahu, mbolo ro dampa, meci angi, lamba angi, tari, kalero, gantao, ‘buja ka ‘danda”,serta masih banyak warisan kebudayaan lainnya mesti digali, diungkap, dijaga, dapelihara dan dilestarikan. Ukilan-ukilan tersebut telah menjadi kearifan local dan landasan hidup masyarakat Dana Mbojo yang didalamnya tersirat nilai kebaikan serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, meskipun ada pula yang berbenturan dan bertentangan dengan beberapa hal yang telah disebutkan diatas.

Beragam warisan kebudayaan bima mesti dilestarikan sepenuhnya oleh masyarakat dan stakeholder yang ada di dana mbojo. Dinas kebudayaan dan pariwisata sebagai representative pemerintah memiliki peran strategis dalam melestarikan dan menjaga keutuhan budaya bima, begitupun dengan budayawan atau penggiat kebudayaan. Upaya pelestarian budaya bima juga mestinya didorong untuk membentuk dan mendirikan sanggar budaya serta maksiamlisasi socialisasi gagasan tentang keaslian budaya bima menjadi keharusan dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat.

Adapun hal-hal yang bertententangan dengan budaya dan kearifan local (ncao ro ncaka, ka ma’bu angi, nuntu kiha angi, dst), mestinya diminianilisir serta didekonstruksi agar terwujud keutuhan budaya bima yang humanis. Masyarakat bima harus memiliki pengetahuan tentang budaya demi terbangunnya kesadaran budaya.Namun tak dapat dipungkiri terjadi pergeseran budaya dari generasi kegenerasi oleh karena arus kebudayaan dari luar bima yang kadangkala tak mampu dibendung sehingga masyarakat bima tercerabut dari akar kebudayaannya sendiri, kemudian mengalimi krisis identitas, lalu mencari sebuah identitas baru yang justeru bertentangan dengan budaya bima.

Untuk itu, kemampuan untuk memilah dan membedakan budaya asli dana mbojo dengan budaya yang datang dari luar ,mestinya dimiliki oleh masyarakat bima. Tradisi ‘batu lata’ mempermudah diserapnya oleh masyarakat bima budaya yang datang dari luar. Adalah baik jika arus kebudayaan yang datang dari luar dapat memberi efek positif bagi masyarakat, dalam hubungannya dengan terjadi proses akulturasi (bertemunya beragam kebudayaan lalu terbentuk kebudayaan baru) yang nantinya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Dewasa ini nampak justru masyarakat bima tercerabut dari akar kebudayaan serta mengadopsi budaya yang bertentangan dengan budaya yang telah diwariskan secara turun temurun, kemudian terjadi krisis identitas, bahkan generasi muda dan masyarakat pada umumnya kehilangan arah hidup karena tak memiliki lagi fasafah hidup yang mestinya dinternalisasikan untuk menuntun hidup dalam ruang social sehingga masyarakat bima dapat menyongsong masa depan yang cerah dalam bingkai gerakan kebudayaan. Kemudian Problematika social yang terjadi di Bima pada umumnya memiliki relasi yang erat dengan budaya, akan tetapi budaya yang tumbuh subur dewasa ini tidak membawa angin segar bagi masyarakat. Oleh karena terjadinya krisis identitas budaya hingga belum mampu menggapai obat penawar bagi penyakit social kemasyarakatan yang kian menggurita diTanah Mbojo maka perlu kiranya dibuka Ruang dialogis Untuk mendialogkan KEBUDAYAAN sehingga terdapat relevansi antara mekanisme atau aturan yang ditetapkan oleh Pemerintah dengan efek socialnya, relevasinya antara peran budayawan atau penggiat kebudayaan dengan kondisi social yang terjadi dalam ruang lingkup daerah Mbojo, begitupun dengan peran masyarakat dan seluruluruh elemen lainnya. Terinternalisasinya nilai budaya dan kearifan tradisional akan menopang terciptanya harmoni kehidupan, baik dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Gambar

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Agustus 29, 2012 inci KEBUDAYAAN