RSS

“RUMAH INDONESIA BERDAULAT & BERMARTABAT”

oleh
Muhamad Yunus

Indonesia berdiri atas konsepsi nation-state (negara-bangsa) yakni negara yang berdiri dengan kokoh diatas kaki bangsa-bangsa, seperti yang dilukiskan oleh Yudi Latif bahwa “kebangsaan indonesia adalah satu tubuh dengan banyak kaki. setiap kaki ini tidak ingin diringkus dan ditebas, melainkan tetap dipertahankan untuk memperkokoh rumah kebangsaan Indonesia. dengan pola antar kaki saling menendang yang bisa menimbulkan keretakan dan akhirnya bisa membawa roboh bangunan keindonesiaan”.

Bagaimana mungkin Indonesia menjadi kokoh, berdaulat, dan bermartabat jika fakta hidup sesuai dengan lantunan kata-kata seorang pelacur yang dilukiskan oleh A Donggo dengan sangat nyentrik “Kau mencari Indonesia? Kau akan menemukannya di perut rakyat yang kelaparan, dibawah tadahan tangan para pengemis, tongkat-tongkat para tuna netra. Hari ini pun jika kita ditanya lagi dengan pertanyaan yang sama “kau mencari Indonesia?” Mungkin kita akan menjawab, kau akan menemukannya di himpitan perut elit (penguasa) yang kekenyangan, dibawah tangan-tangan para koruptor dan comprador, atau di rumah-rumah para penjarah alam indonesia dan seterusnya.

Dari sini kita butuh kejernihan pandangan untuk melihat masa depan Indonesia, tentunya melihat masa depan harus dengan semangat dan harapan. Optimisme harus ditanamkan dihati sanubari generasi bangsa agar dapat diwariskan secara turun temurun, seperti optimism para founding fathers dan ini tercermin dalam semboyan Bung Hatta : “diatas segala lapangan tanah air, aku hidup, aku gembira. Dan di mana kakiku menginjak bumi Indonesia disanalah tumbuh bibit cita-cita yang kusimpan dalam dadaku.” Lantas ia pun berikrar dengan megutip seuntai sajak René de Clerq: “hanya ada satu tanah air yang bernama tanah airku. Ia makmur karena usaha, dan usaha itu adalah usahaku.”

Didasari oleh keyakinan yang kuat, semangat dan harapan maka akan terbangun vitalitas bagi masa depan, dengan ditopang oleh nilai-nilai keTuhanan dalam bingkai kemanusiaan, agama yang ingklusif sehingga dapat mendorong proses transformasi pada etos sosial dan etos keberagamaan, etos bangsa dalam pergaluan antarsuku dan bangsa yang membangkitkan karakter bangsa yang beradab dan etika sosial bangsa serta moralitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Maka manusia Indonesia atau anak bangsa yang diamanahkan untuk mengurus Negara sebagai Negara kesejahteraan harus bersumber pada empat jenis tanggung jawab; pertama, Perlindungan dengan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, kedua, kesejahteraan dengan memajukan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia, ketiga, Pengetahuan dengan mencerdaskan kehidupan bangsa, keempat, perdamaiaan-keadilan dengan melaksanakan ketertiban dunia perdamaian abadi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ketika manusia tinggal di Rumah keindonesiaan, maka harus ada yang melindungi segenap bangsanya dan seluruh tumpah darahnya, jika tidak maka tanggung jawab pertama telah di abaikan, hal ini bisa di amati lewat fenomena halaman depan rumah Indonesia yakni daerah-daerah perbatasan yang dianggap sebagai halaman belakang yang tak mendapatkan perlindungan, perhatian, bahkan tak terurus kehidupannya. Mestinya sebuah Rumah kalau di tempati dapat memberi perlindungan dari segala macam mara bahaya dan ancaman dari segala penjuru, jangankan ganggunan dan ancaman dari negeri atau rumah tetangga, negeri yang jauhpun harus diusir lalu angkat kaki dari rumah keindonesiaan. Semua orang yang melakukakan kejahatan di dalam rumah keindonesiaan harus disingkirkan ketempat yang tepat untuk ditempati olehnya. Apakah orang Amerika dan sekutunya atau siapapun, darimanapun datangnya, semunya harus disingkirkan pada tempat yang tepat untuknya, bagaikan sampah jika disimpan beserakan pada sembarang tempat maka sampah itu tidak akan kelihatan indah, sebaliknya sampah itu akan kelihatan indah jika di simpan pada tempatnya. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia memberikan ketegasan untuk memberikan perlindungan terhadap manusia indonesia (anak bangsa), warisan budaya dan adat istiadat, hutan, lautan, serta seluruh alamnya yang penuh dengan kekayaan, demi keutuhan dan kesatuan rumah indonesia dari sabang samapai merauke menjadi sebuah bangsa yang terhormat.

Setelah diberikan perlindungan, lalu kita berkata bahwa orang-orang miskin dan terlantar dipelihara oleh negara, dengan  demikian orang miskin harus dirawat, dilestarikan, dan dimiskinkan secara turun temurun, karena jika tidak dipelihara dengan dirawat, dilestraikan, dimiskinkan maka orang-orang itu bisa saja jadi orang kaya raya, kalau demikian, tak akan ada lagi orang miskin di rumah Indonesia, jadinya gagal negara memelihara orang miskin karena orang-orang itu berubah jadi kaya. Mungkin begitulah perlindungan untuk orang miskin di tanah air Indonesia. Jika kita berharap tidak demikian model perlindungannya, maka semangat kesejahteraan dengan memajukan kesejahteraan umum harus mengena pada seluruh lapisan masyarakat Indonesia, orang-orang miskin harus mendapatkan perlindungan dan kesejahteraan hidup, yang merupakan hak dasar baginya. Kemiskinan structural harus sesegera mungkin diberantas, karena dalam pandangan agama, miskin itu lebih dekat dengan kekufuran. Efek sosialnya dapat dilihat melalui fenomena perkelahian, perampokan, pencurian, pembantaian dengan motif ekonomi, bahkan terjadi anarkisme sosial  karena ekonomi. Belum lagi busung lapar bertebaran diseluruh penjuru Rumah Indonesia.

Agar anak bangsa jauh dari kemiskinan, maka semuanya harus memiliki pengetahuan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Mungkinkah manusia Indonesia yang miskin bisa hidup sejatera kalau tidak memiliki modal kecerdasan? Tentu tidak, karena kecerdasan merupakan modal utama. Media yang cukup strategis untuk mengasah kemampuan dan kecerdasan yakni melalui pendidikan. Namun mahalnya biaya pendidikan juga menjadi penghambat, juga jauhnya dari pusat pendidikan menjadi kendala bagi daerah-daerah pedalaman dan terpencil, akhirnya di papua masih banyak anak bangsa yang pakai koteka ditengah era modern, beberapa suku anak dalam juga masih demikian kondisinya. Memilukan sekali wajah anak bangsa dan pendidikan kita. Ditambah lagi fenomena tawuran pelajar, narkoba, seks bebas, masalah kurikulum, masalah mutu pendidik, tak meratanya fasilitas pendidikan, serta banyak lagi masalah-masalah lainnya yang berhubungan dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukan hanya itu, masyarakat tani, masyarakat nelayan, masyarakat peladang dan berburu mestinya di cerdaskan agar terbangun kemadirian diantara mereka.

Seorang anak kecil ketika di Tanya apa yang kamu inginkan ketika berada dirumahmu? Ia menjawab, aku ingin susana yang damai. Seorang anak rindukan kedamaian, apakah elit-elit kekuasaan merindukannya juga layaknya sang anak? Entahlah,. Mungkinkah kedamaian akan datang jika kebodohan dan kemiskinan tecipta secara structural di rumah keindonesiaan kita? Rumah seharusnya memberikan kedamaian, ketenangan, keceriaan, kasih sayang, kegembiraan sehingga semuanya dalam keadaan tentram dan harmonis serta di liputi kebahagiaan. Tetapi Rumah keindonesiaan kita diwarnai dengan kekerasan baik kekerasan personal, kekerasan structural, maupun kekerasan institusional, perang antarmasyarakat, antarpelajar, antarmahasiswa, antarpolisi dan masyarakat, pertikaian antarpolitisi, antarpetinggi negara dan seterusnya, bila di urai mungkin lembaran kertas ini tak akan sanggup menampungnya. Menggeser dan menyingkirkan perilaku tak senonoh oleh semua anak bangsa menjadi sebuah keniscayaan dan sesungguhnya aktualisasi nilai-nilai etis kemanusiaan terlebih dahulu harus mengakar kuat dalam pergaulan kebangsaan yang lebih dekat sebelum menjangkau dunia. Ketertiban dunia tercermin dalam pergaulan antarbangsa, menuju sebuah perdamaian abadi bagi terwujudnya keadilan bagi seluruh rakyat indonesia.

Untuk itu, Negara sebagai suatu organisasi masyarakat yang bertujuan menyelenggarakan keadilan, mesti memainkan Peran sebagai upaya negara dalam mewujudkan keadilan sosial dalam Perwujudan relasi yang adil disemua tingkat sistem (kemasyarakatan), Pengembangan struktur yang menyediakan kesetaraan kesempatan, Proses fasilitasi akses atas informasi, layanan, dan sumberdaya yang diperlukan, Dukungan atas partisipasi bermakna atas pengambilan keputusan bagi semua orang. Dengan beberapa tanggung jawab dan peran penting yang mesti dimainkan oleh negara, besar harapan kita agar Rumah Indonesia berdiri kokoh sebagai negara yang berdaulat dan bermartabat.

Referensi

Cribb, R. 2001. “Bangsa: Menciptakan Indonesia”. Dalam Donald K. Emmerson (ed). Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Fauji, Muhammad, 2007. Agama Dan Realitas Sosial; Renungan & Jalan Menuju Kebahagiaan. PT Raja Grafindo Persada: Bandung.
Latif, Yudi. 2011. Negara Paripurna Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Madjid, Nurcholis, 2000. Islam, Doktrin dan Peradaban, Paramadina, Jakarta.
Rahmat, jalaludin. 2000. Rekayasa social. Reformasi revolusi, atau mansia besar, pt remaja rosdakarya: Bandung.
Ramzy, A. Naufal, 1993. Islam & Transformasi Sosial Budaya,Deviri Ganan, Jakarta.
Zulkarnaen, Fajar R. 2006. Menakar Konteks (refleksi pemikiran atas fenomena ummat dan bangsa),taman kampus pressindo:

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Desember 20, 2012 inci SOSIAL

 

TRADISI BERLADANG RAKYAT WERA SUKU BIMA (MBOJO)

OLEH
Muhamad Yunus

Aktivitas berladang telah dilakukan secara turun temurun, bagi kebanyakan mas-yarakat di Dana Wera, aktifitas berladang merupakan warisan leluhur yang menjadi tradisi dan diwariskan secara turun temurun, begitupun bagi masyarakat dibeberapa daerah lainnya. Tradisi berladang ditandai dengan kehidupan diatas gunung dan masyarakat menggarap ladang berpindah-pindah dari gunung yang satu, ke gunung lainnya. Lakah ini juga ditempuh sebagai sebuah upaya pe-menuhan kebutuhan tambahan dalam rangka bertahan hidup, juga usaha menjauhkan diri dari kemiskinan. Selain itu, perpindahan dan penyebaran penduduk, sangat dipengaruhi oleh tardisi berladang rakyat yang berpindah-pindah.

Dikala memasuki musim ladang, mu-lailah belangsung interaksi antar masyarakat berkenaan dengan perencanaan yang diawali dengan musyawarah (mbolo ro dampa). Ke-mudian laki2 mulai sibuk mempersiapkan seluruh peralatan (batu asah/kamalo, parang/-cila, kapak/ponggo, maupun tembilang/cu’a, serta alat lainnya) untuk di gunung dan perempuannya menyiapkan bekal tuk makan dan minum. Itulah pembagian kerja dalam mecapai tujuan bersama.

Setelah seluruh peralatan telah disiap-kan, dimulailah proses pembabatan kayu (ngoho) pada lokasi yang kelak dijadikan ladang (oma). Pada proses pembabatan/-penebangan kayu dilakukan oleh laki2, seme-ntara penanaman dilakukan oleh perempuan. Pembabatan dilakukan berhari-hari, kadang menempuh waktu yang cukup lama jika lahannya cukup luas. Untuk mempercepat, biasanya dengan membiayai masyarakat lain-nya untuk membantu pembabatan atau pene-bangan. Setelah penebangan kayu selesai, kayu yang telah di tebang, dibiarkan menge-ring beberapa hari, kemudian dimulailah tahap berikutnya yakni pembakaran. Tahap ini dianggap sangat penting karena akan sangat menentukan tingkat kesuburan tanah jika proses pembakarannya dilakukan dengan baik. Jika yang terjadi ialah sebaliknya, justru akan menyulitkan penanam dikala menanam padi, dan tanah tak terlalu subur jika tidak dilakukan pembakan dengan dengan baik. Pembakaran kayu-kayu yang telah ditata dengan rapi, dilakukan dikala memasuki waktu siang hingga sore hari.

Sebelum memasuki waktu penanaman padi, telebih dahulu ritual adat dilaksanakan diatas bukit, disertai dengan do’a bersama dan musyawarah. Proses tersebut berlangsung dengan dipimpin oleh orang “tua” atau orang yang percayakan sebagai tokoh masyarakat yang berladang dilokasi tersebut.

Pada tahun 1999, di puncak gunung lalumonca menjadi pusat ritual adat. Adapula lokasi lain yang menjadi pusat pelaksanaan ritual adat berdasarkan territorial ladang mas-yarakat. Namun sebelum sampai pada pelak-sanaan ritual, sejumlah masyarakat yang me-miliki lokasi ladang di gunung lalumonca menyiapkan bekal untuk mengikuti ritual adat.

Dua atau tiga hari sebelum pelaksana-an ritual adat, seseorang diantaranya meng-gambarkan waktu pelaksanaan ritual, bahan yang harus dipersiapkan, serta lokasi yang akan menjadi tempat pelaksanaan. Proses penyampaiaan dilakukan dengan mendatangi rumah, beranjak dari rumah kerumah agar semua penduduk yang berladang memper-siapkan seluruh bahan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan ritual adat dan datang tepat waktu, sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.

Bahan yang disiapkan diantaranya; nasi kuning, nasi putih, nasi santan, pisang matang, kelapa yang masih utuh,  beras yang sudah direndam kemudian dihaluskan dan dicampur dengan kelapa (Karo’do), mange-mada, ayam (putih & hitam), daun sirih & pinang (nahi ro u’a), serta tembakau (tambaku).

Diwaktu sore, semua penduduk yang yang akan mengikuti prsoses ritual adat beranjak ke lokasi yang menjadi pusat pelaksanaan ritual adat tersebut. Do’a dan puji-pujian dipanjatkan bersama, dengan harapan semua orang yang berladang, tanamannya terhindar dari beragam bala dan penyakit, kemudian mendapatkan hasil yang banyak dan bermutu dikala panen.

Selain itu, hal penting yang dilakukan ialah penetapan waktu penanaman, sekaligus pembagian tugas untuk urusan pemagaran, dan ada salah seorang yang ditunjuk dan dipercayakan sebagai punggawa. Punggawa ialah orang yang akan mengkoordinir proses pemagaran, posisi gubuk serta hal lain yang dianggap penting dalam menjalankan aktivitas berladang. Biasanya dalam musyawarah dibuatkan kesepakatan tentang berapa meter yang akan dipagari perorang, jenis pagarnya, dan tiangnya. Dalam hal gubuk, setiap gubuk yang dibangun harus mengikuti arahan punggawa berkenaan dengan posisi gubuk, karena menurut kepercayaan masyarakat, jika posisi gubuknya salah, akan memberi dampak negative seperti adanya bala dan penyakit pada tanaman, serta dapat menjadi sebab kurangnya curah hujan. Posisi gubuk mesti mengikuti lereng gunung, dengan menyamping, dan tak boleh satupun gubuk menghadap langsung (berhadapan) lereng gunung, karena akan menyalahi tradisi yang telah diwarislan secara turun temurun.

NGGU’DA RO SAGELE

Penanam padi di ladang biasanya terdiri dari perempuan baik yang tua maupun muda. Perempuan-perempuan itu dipanggil khusus sebagai penanam, di antaranya ada yang di upah/gaji dengan memberikan uang tunai, beras, padi, adapula yang membantu dengan kesepakatan, dikala orang tersebut menanam padi diladangnya, akan dibantu kembali (cepe/cempe rima, weha rima).

Pada waktu pagi… semua perempuan yang di panggil sebagai penanam padi telah siaga untuk melangsungkan penanaman. Selain penanam, terdapat pula seseorang yang mengiringinya dengan biola atau gambus, perpaduan keduangnya dalam bahasa bima di sebut “nggu’da sagele”.

Ndiri ro sagele merupakan sebuah harmoni yang hidup dalam tradisi penanaman padi di ladang. Sagele dapat dilakukan dengan “biola” yang disebut juga dengan ndiri, alat lainnya yang biasa juga di gunakan yakni gambus (gambo). Kadangkala di iringi dengan lagu-lagu khas dana mbojo, seperti haju jati, jaraledo, wadu ntanda rahi, sangiang, dan lain sebagainya.

Biasanya, proses penanaman padi di ladang akan lebih cepat jika di iringi dengan alunan biola atau gambus. Penanaman akan dilakukan secara serentak, syarat dengan kebersamaan.

Alat yang digunakan semacam tembilang (cu’a sagele) yang di rancang khusus untuk menanam padi di ladang, terbuat dari sebilah besi, bentuknya memanjang, panjang sekitar 20 hingga 30 cm, lebarnya satu atau satu setengah senti meter. Di bagian ujung atas tembilang, terdapat sebuah lubang, yang sengaja di buat untuk dimasukan kayu sebagai gagang dikala menanam. Gagangnya terbuat dari sebantang kayu (Haju Luhu) yang telah di desain dengan baik dan berdiameter sekitar 8 cm dan panjang 80 cm.

Bahan yang ditanam selain padi, ada pula jagung, wijen, gandum, mentimun, labu, serta umbi-umbian lainnya. Beberapa tanaman tambahan merupakan bahan pelengkap berupa sayur mayur selama menjalani hidup diladang, kadangkala umbi-umbian yang dipanen itu dijual pula dipasar.

Ketika memasuki musim panen, prosesnya hampir sama dengan musim tanam, yang terlibat sepenuhnya ialah perempuan, perbedaannya yakni alat yang digunakan untuk memanen berupa pemotong padi yang dalam bahasa bima disebut “kentu”. Kentu digunakan khusus untuk padi gunung, sedangkan sabit (rombe) digunakan untuk panen padi yang biasa ditanam disawah. Padi yang telah dipanen oleh perempuan, kemudian di ikat (to’do) agar bisa di letakan dengan baik diatas pemikul. Untuk padi gunung, dibawa pulang kerumah dengan dipikul (Lemba) oleh laki-laki dan perangkat pikulnya terbuat dari bamboo (o’o) yang dirancang khusus untuk alat pikul padi, gandum dan beberapa hasil panen lainnya. Perempuan bisanya menjunjung (su’u) yakni meletakan padi diatas kepala, padi yang telah dikemas dengan sarung atau kain itulah yang di junjung oleh perempuan.

Dalam aktifitas berladang tercipta harmoni hubungan laki-laki dan perempuan, harmoni hubungan manusia dengan alam. Harmoni kehidupan laki-laki dan perempuan ditandai dengan pembagian kerja yang baik untuk mencapai tujuan, menciptkan keseimbangan peran, karena kesatuan peran keduanya ialah saling melengkapi.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Desember 12, 2012 inci KEBUDAYAAN

 

Belajar Untuk MA”RIFATUL DINUL ISLAM

PENGANTAR

Secara sederhana ma’rifatul dinul Islam dapat diberikan pengertian yakni mengenal agama Islam. Untuk mengenal agama Islam tentunya mesti ma’rifatullah (mengenal Allah), ma’rifaturrasul (mengenal Rasul), ma’rifatussyar’i (Mengenal Syariat). Namun karena cakupan pembahasan tersebut cukup luas, nah untuk mempermudah dan menyederhanakan agar mudah dipahami langsung saja study dari Al-Qur’an berkenaan dengan kata DIN dan ISLAM. Banyak ayat yang memuat kata din dan Islam seperti; La ikraha fiddin, Lakum dinukum walyadin, Alyauma akmaltulakum dinakum, Innadina indallahil Islam dan seterusnya. berFirman Allah dalam kitab suci yakni “Masuklah Islam/kedamaian secara keseluruhan (Udkhulu fi al-silmi kaffah)” (QS. Al-Baqarah [2]: 208), Islam menolak atas sikap mengkhususkan sekelompok manusia dari kelompok-kelompok lainnya. Sungguh kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi sekalian alam (QS. Al- Anbiya/21:107), karena ia memang merupakan “suri tauladan yang indah” (QS. Al-Ahzab/33:21).

Kasih sayang Tuhan meliputi seluruh alam semesta dan termanifestasi dalam eksistensi seorang pejuang kemanusian yakni Muhammad yang senantiasa dalam totalitas hidup dan kehidupannya menebarkan kasih sayang tanpa membeda-bedakan kelompok tertentu, golongan tertentu ataupun aliran tertentu. Akan tetapi jika diamati realiatas manusia menjelaskan perihal yang bertentangan dengan yang dalakukan dan diajarkan yang mulia nabi Muhammad saw, entah pada konteks kemarin, hari ini, mungkin juga di masa yang akan datang demikian pula adanya. Bahwasanya sangat banyak umat manusia yang mengkotak-kotakkan (menyempitkan) kasih sayang Tuhan yang begitu universal (Menyeluruh), hanya untuk orang-orang yang se-Mazhab dengannya, sealiran dengannya atau hanya untuk orang-orang yang seagama dengannya yang bisa dan layak untuk menerima kasih sayang Tuhan dan yang selain daripada kelompok mereka tidak diperkenankan untuk menerimanya, sesungguhnya manusia sangat amatlah bakhil.

Selanjutnya yang menjadi dasar semangat gerakan kita dalam mendakwahkan Islam sebagai agama yang memiliki ajaran kebenaran, penulis dalam hal ini mencoba melihat secara inklusif seperti apa makna Islam yang di bawakan oleh Muhammad yang sangat humanis dalam realitas kemanusian, guna untuk memanusiakan manusia dengan diselimuti oleh semangat yang luar biasa dalam dakwahnya membumikan agama Tauhid. Seperangkat spirit perjuangan juga diabadikan oleh Tuhan dengan mewahyukan firman-Nya dalam QS. Ar-ra’d ayat 11 “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri”. Semangat perubahan bukanlah angan-angan belaka, bukan pula mimpi-mimpi kosong yang kehadirannya hanya sekedar di tunggu terwujudnya, akan tetapi Tuhan mengisyaratkan agar manusia berihktiar dalam membumikan ajaran Muhammad sebagai pelanjut misi kenabiannya.

Islam mengajarkan ketundukan, ketaatan, kepasrahan dan kepaTuhan secara totalitas kepada Allah SWT, Islam adalah agama yang membawa kedamaian bagi seluruh umat manusia, lalu kenapa terjadi pertikaian dan pertumpahan darah karena persoalan Agama?       Bukankah kasih sayang Tuhan meliputi langit dan Bumi ? maka dari itu memberikan makna Islam universal menjadi sebuah keniscaan untuk mengangkat universalitas Islam agar teraktual nilai subtantif Islam yang termanifestasi dalam “Ibadah Mahdah dan Ibadah Muamalah”.

MEMAKNAI ISLAM SEBAGAI AGAMA

Din secara harfiah berarti agama, namun dalam pemaknaan tentang Din tidak serta merta hanya berarti agama akan tetapi ada pengertian yang lain. Untuk itu perlu kiranya untuk memahami Din dari akar etimologinya. Din adalah sejenis kepasrahan dan kerendahan. Inilah makna pokok dan makna yang lain kembali kesini. Maka Din bermakna ketaatan. Dikatakan, “Dana yadinu dinan”, bila ia mennyertai, menyerah kepada dan menaati, (seseorang). Qawm Din: yakni kaum yang berserah diri dan taat. Madinah tempat ketaatan, disebut demikian karena ditempat itu di tegakkan ketaatan kepada pemerintah. Madinah juga berarti budak perempuan (budak laki-laki : Madin).

Religion, menurut as-shihah disebut demikian karena “agama kepaTuhan dan kepasrahan” kepada hukum, karena Din juga berarti Syariah dan wara’, menghindarkan dari perbuatan yang melanggar hukum. Sungguh makna asal Din adalah kepaTuhan dan kepasrahan. Hukum disebut Din karena peraturan tidak bisa tegak tanpa adanya kepaTuhan. Tradisi atau adat biasanya disebut, karena peraturan tertentu dipatuhi dan di jalankan terus menerus; lalu, seluruh anggota komunitas harus pasrah padanya. Cara mengatur tingkah laku menurut prosedur tertentu juga terbentuk karena kepaTuhan yang berlangsung lama, sehingga menjadi kebiasaan. Apabila aturan itu dilanggar, apabila aturan yang baku itu tidak dipenuhi, orang mendapat hukuman dari masyarakatnya. Karena itu balasan juga disebut Din.

Menurut makna asalnya, Din sama saja dengan Islam. Secara etimologi Islam berasal dari kata aslama yang mengandung pengertian khahla’a (tunduk) dan istaslama (sikap berserah diri), dan juga adda (menyerahkan atau menyampaikan). Pengertian lain dari Islam adalah al-inqiyad (tunduk patuh), dan al-ikhlash (tulus) disamping itu juga diartikan al-tha’ah (taat) serta al-salam (damai atau selamat). Al-Mawdudi mengartikan Islam sebagai “tunduk, berserah diri, taat, dan patuh kepada perintah dan larangan yang berkuasa(al-amir) tanpa membantah”.

Dengan menggunakan makna asal dari kedua kata ini yakni Din dan Islam, kemudian kita akan lihat lagi QS. Al ‘Imran ayat 83 dan 85 :

Maka apakah mereka mencari selain kepaTuhan kepada Allah (Ghayru din Allah), padahal kepada-Nya pasrah tunduk patuh (Aslama) semua yang dilangit dan di bumi, baik dengan suka maupun dengan terpaksa. Hanya kepada Allah sajalah mereka dikembalikan.

Barang siapa mencari kepaTuhan (din) selain kepasrahan diri (al-Islam), maka ia tidak akan diterima dan dia di akhirat termasuk orang yang merugi.

Jadi, secara denotative Din menunjukan kepaTuhan yang umum. Orang bisa tunduk pada tradisi, kebiasaan, prosedur prilaku atau sanksi dan hukum. Orang bisa hanya patuh kepada Allah saja, Din Allah, kepaTuhan kepada Dia diletakan dibawah kepaTuhan kepada Dia. Dalam Al-Qur’an ; kepaTuhan kepada kepada Allah itu sebagai kepaTuhan kepada kebenaran, Din al-haqq. Nabi munhammad saw diutus Tuhan untuk membawa petunjuk dan kepaTuhan kepada kebenaran agar kepaTuhan kepada yang lain ditundukan. Tuhan berfirman : Dialah yang mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan kepaTuhan kepada kebenaran agar Dia mengunggulkannya di atas semua kepaTuhan…(QS. Al-Tawbah : 33).

Islam berasal dari kata aslama yang berarti 1). Sama dengan sallama, yang berarti menyerahkan sesuatu, menyerahkan diri pada kekuasaan orang lain, meninggalkan orang dibawah kekuasaan orang lain, meninggalkan (seseorang) bersama (musuhnya), berserah diri kepada (Tuhan); menurut As-Shihhah,al-Qamus,al-Muhkam,Ibn Atsir,Taj al-Arus. 2). Membayar di muka seperti dalam kalimat aslama fi al-tha’am menurut As-Shihhah, al-Muhkam, al-mishbah. 3). Sama dengan istaslama : menyerah, menyerahkan diri, pasarah, memasuki perdamaian, menurut As-Shihhah, al-Muhkam, al-mishbah mendefinisikan Islam sebagai ungkapan kerendahan hati atau kepasrahan dan ketaatan secara lahiriah kepada hokum Tuhan serta mewajibkan diri untuk melakukan atau mengatakan apa yang telah dilakukan atau dikatan Nabi saw menurut al-tahdzib dan al-Muhkam, bila ketaatan itu dikuti dengan hati, maka ia disebut iman. Ini menurut mazhab syafi’i, tetapi menurut mazdhab Abu Hanifah, tidak ada perbedaan antara kedua istilah tersebut. 4). Aslamtu ‘anhu berarti aku meninggalkannya setelah aku terlibat didalamnya; seperti dalam kalimat “kana ra’iya ghanamin tsumma aslama.

Jika kita merujuk beberapa kamus Al-qur’an, kita akan menemukan makna asal aslama adalah patuh, pasrah, atau berserah diri. Beberapa kamus Al-qur’an lain yang lebih klasik tidak secara eksplisit menyebut makna asal ini, tetapi menyebutkan tingkatan-tingkatan Islam yang menunjukan sebenarnya tingkatan kepasrahan. Bukankah agama disisi Allah itu hanya Islam? Bukankah orang yang mencari selain Islam sebagai agama, ia tidak akan diterima dan pada hari hari akhirat menjadi orang-orang yang merugi. Lagi pula, bila Tuhan menerima amal saleh dari siapa pun, maka apa perlunya kita memeluk agama Islam? apa juga gunanya kita memanggil manusia kepada Islam?

Dengan kembali kepada makna asal Islam berserah diri, kepasrahan– muthahhari menjelaskan tiga macam kepasrahan.  Pertama Islam Fisik. Disini orang pasrah kepada seseorang atau sesuatu karena terpaksa atau karena mengikuti lingkunganya. Mathahhari menyebut istilah al-Islam al- jughrafi kepada mereka yang lahir, hidup, dan mati dalam lingkungan Islam. Jika anda memeluk Islam sekarang ini, karena orang tua anda juga muslim dan lingkungan anda juga muslim, padahal anda tidk pernah mempelajari Islam, anda baru masuk Islam secara fisik saja. Muthahhari menulis, “kebanyakan kita hanyalah muslim tradisional dan geografis. Kita menjadi muslim karena orang tua kita muslim. Kita juga hidup dan tumbuh besar ditengah-tengah masyarakat muslim”.

Disamping Islam geografis, ada Islam actual, al-Islam al-waqi’i. Inilah Islam yang “memikul nilai ruhiyyah samawiyah”. Menurut Muthahhari, Islam aktual adalah Islamnya orang yang sudah pasrah kepada kebenaran dengan hatinya. Ia mengamalkan kebenaran yang diyakininya setelah ia menerima kebenaran itu melalui penelitian dan tanpa fanatisme. Bila ada orang yang telah berusaha mencari kebenaran, lalu ia menerima kebenaran itu dengan sepenuh hati, tetapi ia tidak memeluk agama Islam, Tuhan tidak akan mengazabnya. Berdasarkan firman Tuhan “Kami tidak akan mengazab mereka sebelum kami bangkitkan Rasul ” (QS. Al-isra’:15) dan kaidah ushul yang menyatakan “buruknya sanksi tanpa keterangan”, mustahil Tuhan menghukum orang diluar kemampuannya. Bila seseorang hanya mampu mengetahui kebenaran Kristen, misalnya, dan mengikuti dengan setia, pada hakekatnya ia sudah menerima Islam dalam pengertian kepasrahan yang tulus.

Muthahhari memberikan contoh Deskartes. Dalam pencarian kebenaran, Deskartes menerima Kristen sebagai agama yang benar, seraya mengatakan bahwa itulah agama yang dikenalnya dengan baik. Ia tidak menolak kemungkinan agama lain juga benar, hanya saja ia tidak mengetahuinya. Muthahhari menulis, “orang-orang seperti Deskartes tidak mungkin kita sebut kafir, karena mereka tidak mempunyai sikap membangkang kepada kebenaran dan tidak menyembunyikan kebenaran. Bukankah kekafiran adalah pembangkangan dan penutupan kebenaran. Mereka adalah muslim secara fitriah. Jika kita tidak dapat menyebut mereka muslim, kita juga tidak dapat menyebut mereka kafir”.

Jadi Islam sebagai agama bukanlah yang menjadi symbol belaka, bukanlah institusi, Islam sebagai agama bukanlah menjadi lembaga yang nantinya pengakuan atas eksistensi keIslamannya hanya karena terdapat dalam data statistic bahwa kita beragama Islam atau hanya karena terdapat dalam KTP, makanya kita dapat di sebut sebagai orang Islam. Olehnya itu, sangatlah wajar ketika ada yang mengatakan bahwa banyak dari umat manusia yang mengaku beragama Islam tetapi Islamnya hanyalah Islam KTP. Islam sebagai agama meniscayakan ketundukan, kepaTuhan, dan kepasrahan secara totalitas kepada sang Khalik, sebagai mana Islamnya Ibrahim as, bukanlah Islamnya orang-orang Badui yang belum masuk iman kedalam hatinya.

 

MENJEJAKI ISLAM UNIVERSAL

Hal yang subtantif dalam memahami Islam universal adalah manusia memahaminya sebagai ajaran yang mampu mengarahkan misi kemanusiaannya sebagai mana bangunan kesadaran pengetahuan dan proses dialektika sebagai bentuk paradigma holistic Islam baik dalam perspektif eksklusif maupun dalam pendekatan inklufisisme untuk memahami kondisi substatif nilai-nilai ajaran Islam universal. Islam dalam aspek kemanusiaannya mengajarkan tentang bersikap arif atau bijaksana dalam melihat berbagai segi keummatan, olehnya itu Islam tidak akan pernah menutup diri dalam membina hubungan kemanusian, Islam universal adalah Islam yanyg memiliki etika dan moralitas dalam hubungannya dengan ajaran-ajaran agama lain serta memiliki peranan dan karakterisik yang terbuka dan peluang bagi semua pihak yang ingin mengetahui dan menganalisis tentang nilai ajaran Islam sebagai bentuk Islam transformative. Dalam bukunya moeslim abdurahman; “Islam sebagai kritik social” menyatakan bahwa nilai universal Islam transformatif adalah suatu proses dimana manusia dapat menyampaikan dan menerima peran nilai-nilai Islam dari manusia atau individu dan kelompok lain dengan manusia lain guna untuk membentuk sebuah makna baru dalam sistimatisasi makna substantive Islam universal yang dimaksud tersebut, begitu pula Cak Nur ketika menerjemahkan Islam sebagai agama kemanusiaan dalam bingkai egalitarianisme dan universal brotherhood.

Dalam hubungannya kemanusiaan, Islam mendakwahkan ajarannya sebagai ajaran kebenaran, Islam memiliki ruang makna yang sesungguhnya mendekap pada dimensi kemanusiaan dan dalam tingkat hubunganya dengan sesama itu merupakan sebuah dialektika yang mendorong bangkit dan tumbuhnya kesadaran natural dan kemanusiaan yang berbuah iman, dalam bangunan kesadaran tersebut merupakan hal yang meendasar dalam diri manusia untuk melihat pesan kemanusiaan yang Muhammad sampaikan dalam bingkai kehidupannya, oleh sebab  itu kehadiran Islam harus di pahami sebagai ajaran universal bagi kemanusiaan dalam kehidupan social yang terus berubah, berkembang dan bergerak maju kedepan, Islalm di wahyukan Tuhan bukan bagi kepentingan Tuhan sendiri atau kepentingan umat tertentu yang menyatakan dirinya memeluk Islam, tetapi penebaran Rahmatnya bagi seluruh umat manusia dan semesta kehidupan. Untuk itu perlu disadari bahwa tidak ada sebuah jaminan pun yang bisa dijadikan argument bahwa Islam hadir untuk komunitas tertentu atau golongan tertentu akan tetapi Islam hadir sebagai rahmat bagi seluruh semesta alam. Pemaknaan terhadap nilai-nilai universalitas keIslaman itu tidak hanya dilihat secara parsial akan tetapi itu di lihat secara terbuka, dalam hal ini untuk memaknai konsep keIslaman yang meliputi bagi seluruh alam semesta (Rahmatanlilalamin), demi terwujudnya keadilan di bumi Tuhan.

 

Penulis; Muhamad Yunus A

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada November 13, 2012 inci AGAMA

 

Belajar Untuk MA”RIFATUL DINUL ISLAM

PENGANTAR

Secara sederhana ma’rifatul dinul Islam dapat diberikan pengertian yakni mengenal agama Islam. Untuk mengenal agama Islam tentunya mesti ma’rifatullah (mengenal Allah), ma’rifaturrasul (mengenal Rasul), ma’rifatussyar’i (Mengenal Syariat). Namun karena cakupan pembahasan tersebut cukup luas, nah untuk mempermudah dan menyederhanakan agar mudah dipahami langsung saja study dari Al-Qur’an berkenaan dengan kata DIN dan ISLAM. Banyak ayat yang memuat kata din dan Islam seperti; La ikraha fiddin, Lakum dinukum walyadin, Alyauma akmaltulakum dinakum, Innadina indallahil Islam dan seterusnya. berFirman Allah dalam kitab suci yakni “Masuklah Islam/kedamaian secara keseluruhan (Udkhulu fi al-silmi kaffah)” (QS. Al-Baqarah [2]: 208), Islam menolak atas sikap mengkhususkan sekelompok manusia dari kelompok-kelompok lainnya. Sungguh kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi sekalian alam (QS. Al- Anbiya/21:107), karena ia memang merupakan “suri tauladan yang indah” (QS. Al-Ahzab/33:21).

Kasih sayang Tuhan meliputi seluruh alam semesta dan termanifestasi dalam eksistensi seorang pejuang kemanusian yakni Muhammad yang senantiasa dalam totalitas hidup dan kehidupannya menebarkan kasih sayang tanpa membeda-bedakan kelompok tertentu, golongan tertentu ataupun aliran tertentu. Akan tetapi jika diamati realiatas manusia menjelaskan perihal yang bertentangan dengan yang dalakukan dan diajarkan yang mulia nabi Muhammad saw, entah pada konteks kemarin, hari ini, mungkin juga di masa yang akan datang demikian pula adanya. Bahwasanya sangat banyak umat manusia yang mengkotak-kotakkan (menyempitkan) kasih sayang Tuhan yang begitu universal (Menyeluruh), hanya untuk orang-orang yang se-Mazhab dengannya, sealiran dengannya atau hanya untuk orang-orang yang seagama dengannya yang bisa dan layak untuk menerima kasih sayang Tuhan dan yang selain daripada kelompok mereka tidak diperkenankan untuk menerimanya, sesungguhnya manusia sangat amatlah bakhil.

Selanjutnya yang menjadi dasar semangat gerakan kita dalam mendakwahkan Islam sebagai agama yang memiliki ajaran kebenaran, penulis dalam hal ini mencoba melihat secara inklusif seperti apa makna Islam yang di bawakan oleh Muhammad yang sangat humanis dalam realitas kemanusian, guna untuk memanusiakan manusia dengan diselimuti oleh semangat yang luar biasa dalam dakwahnya membumikan agama Tauhid. Seperangkat spirit perjuangan juga diabadikan oleh Tuhan dengan mewahyukan firman-Nya dalam QS. Ar-ra’d ayat 11 “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri”. Semangat perubahan bukanlah angan-angan belaka, bukan pula mimpi-mimpi kosong yang kehadirannya hanya sekedar di tunggu terwujudnya, akan tetapi Tuhan mengisyaratkan agar manusia berihktiar dalam membumikan ajaran Muhammad sebagai pelanjut misi kenabiannya.

Islam mengajarkan ketundukan, ketaatan, kepasrahan dan kepaTuhan secara totalitas kepada Allah SWT, Islam adalah agama yang membawa kedamaian bagi seluruh umat manusia, lalu kenapa terjadi pertikaian dan pertumpahan darah karena persoalan Agama?       Bukankah kasih sayang Tuhan meliputi langit dan Bumi ? maka dari itu memberikan makna Islam universal menjadi sebuah keniscaan untuk mengangkat universalitas Islam agar teraktual nilai subtantif Islam yang termanifestasi dalam “Ibadah Mahdah dan Ibadah Muamalah”.

MEMAKNAI ISLAM SEBAGAI AGAMA

Din secara harfiah berarti agama, namun dalam pemaknaan tentang Din tidak serta merta hanya berarti agama akan tetapi ada pengertian yang lain. Untuk itu perlu kiranya untuk memahami Din dari akar etimologinya. Din adalah sejenis kepasrahan dan kerendahan. Inilah makna pokok dan makna yang lain kembali kesini. Maka Din bermakna ketaatan. Dikatakan, “Dana yadinu dinan”, bila ia mennyertai, menyerah kepada dan menaati, (seseorang). Qawm Din: yakni kaum yang berserah diri dan taat. Madinah tempat ketaatan, disebut demikian karena ditempat itu di tegakkan ketaatan kepada pemerintah. Madinah juga berarti budak perempuan (budak laki-laki : Madin).

Religion, menurut as-shihah disebut demikian karena “agama kepaTuhan dan kepasrahan” kepada hukum, karena Din juga berarti Syariah dan wara’, menghindarkan dari perbuatan yang melanggar hukum. Sungguh makna asal Din adalah kepaTuhan dan kepasrahan. Hukum disebut Din karena peraturan tidak bisa tegak tanpa adanya kepaTuhan. Tradisi atau adat biasanya disebut, karena peraturan tertentu dipatuhi dan di jalankan terus menerus; lalu, seluruh anggota komunitas harus pasrah padanya. Cara mengatur tingkah laku menurut prosedur tertentu juga terbentuk karena kepaTuhan yang berlangsung lama, sehingga menjadi kebiasaan. Apabila aturan itu dilanggar, apabila aturan yang baku itu tidak dipenuhi, orang mendapat hukuman dari masyarakatnya. Karena itu balasan juga disebut Din.

Menurut makna asalnya, Din sama saja dengan Islam. Secara etimologi Islam berasal dari kata aslama yang mengandung pengertian khahla’a (tunduk) dan istaslama (sikap berserah diri), dan juga adda (menyerahkan atau menyampaikan). Pengertian lain dari Islam adalah al-inqiyad (tunduk patuh), dan al-ikhlash (tulus) disamping itu juga diartikan al-tha’ah (taat) serta al-salam (damai atau selamat). Al-Mawdudi mengartikan Islam sebagai “tunduk, berserah diri, taat, dan patuh kepada perintah dan larangan yang berkuasa(al-amir) tanpa membantah”.

Dengan menggunakan makna asal dari kedua kata ini yakni Din dan Islam, kemudian kita akan lihat lagi QS. Al ‘Imran ayat 83 dan 85 :

Maka apakah mereka mencari selain kepaTuhan kepada Allah (Ghayru din Allah), padahal kepada-Nya pasrah tunduk patuh (Aslama) semua yang dilangit dan di bumi, baik dengan suka maupun dengan terpaksa. Hanya kepada Allah sajalah mereka dikembalikan.

Barang siapa mencari kepaTuhan (din) selain kepasrahan diri (al-Islam), maka ia tidak akan diterima dan dia di akhirat termasuk orang yang merugi.

Jadi, secara denotative Din menunjukan kepaTuhan yang umum. Orang bisa tunduk pada tradisi, kebiasaan, prosedur prilaku atau sanksi dan hukum. Orang bisa hanya patuh kepada Allah saja, Din Allah, kepaTuhan kepada Dia diletakan dibawah kepaTuhan kepada Dia. Dalam Al-Qur’an ; kepaTuhan kepada kepada Allah itu sebagai kepaTuhan kepada kebenaran, Din al-haqq. Nabi munhammad saw diutus Tuhan untuk membawa petunjuk dan kepaTuhan kepada kebenaran agar kepaTuhan kepada yang lain ditundukan. Tuhan berfirman : Dialah yang mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan kepaTuhan kepada kebenaran agar Dia mengunggulkannya di atas semua kepaTuhan…(QS. Al-Tawbah : 33).

Islam berasal dari kata aslama yang berarti 1). Sama dengan sallama, yang berarti menyerahkan sesuatu, menyerahkan diri pada kekuasaan orang lain, meninggalkan orang dibawah kekuasaan orang lain, meninggalkan (seseorang) bersama (musuhnya), berserah diri kepada (Tuhan); menurut As-Shihhah,al-Qamus,al-Muhkam,Ibn Atsir,Taj al-Arus. 2). Membayar di muka seperti dalam kalimat aslama fi al-tha’am menurut As-Shihhah, al-Muhkam, al-mishbah. 3). Sama dengan istaslama : menyerah, menyerahkan diri, pasarah, memasuki perdamaian, menurut As-Shihhah, al-Muhkam, al-mishbah mendefinisikan Islam sebagai ungkapan kerendahan hati atau kepasrahan dan ketaatan secara lahiriah kepada hokum Tuhan serta mewajibkan diri untuk melakukan atau mengatakan apa yang telah dilakukan atau dikatan Nabi saw menurut al-tahdzib dan al-Muhkam, bila ketaatan itu dikuti dengan hati, maka ia disebut iman. Ini menurut mazhab syafi’i, tetapi menurut mazdhab Abu Hanifah, tidak ada perbedaan antara kedua istilah tersebut. 4). Aslamtu ‘anhu berarti aku meninggalkannya setelah aku terlibat didalamnya; seperti dalam kalimat “kana ra’iya ghanamin tsumma aslama.

Jika kita merujuk beberapa kamus Al-qur’an, kita akan menemukan makna asal aslama adalah patuh, pasrah, atau berserah diri. Beberapa kamus Al-qur’an lain yang lebih klasik tidak secara eksplisit menyebut makna asal ini, tetapi menyebutkan tingkatan-tingkatan Islam yang menunjukan sebenarnya tingkatan kepasrahan. Bukankah agama disisi Allah itu hanya Islam? Bukankah orang yang mencari selain Islam sebagai agama, ia tidak akan diterima dan pada hari hari akhirat menjadi orang-orang yang merugi. Lagi pula, bila Tuhan menerima amal saleh dari siapa pun, maka apa perlunya kita memeluk agama Islam? apa juga gunanya kita memanggil manusia kepada Islam?

Dengan kembali kepada makna asal Islam berserah diri, kepasrahan– muthahhari menjelaskan tiga macam kepasrahan.  Pertama Islam Fisik. Disini orang pasrah kepada seseorang atau sesuatu karena terpaksa atau karena mengikuti lingkunganya. Mathahhari menyebut istilah al-Islam al- jughrafi kepada mereka yang lahir, hidup, dan mati dalam lingkungan Islam. Jika anda memeluk Islam sekarang ini, karena orang tua anda juga muslim dan lingkungan anda juga muslim, padahal anda tidk pernah mempelajari Islam, anda baru masuk Islam secara fisik saja. Muthahhari menulis, “kebanyakan kita hanyalah muslim tradisional dan geografis. Kita menjadi muslim karena orang tua kita muslim. Kita juga hidup dan tumbuh besar ditengah-tengah masyarakat muslim”.

Disamping Islam geografis, ada Islam actual, al-Islam al-waqi’i. Inilah Islam yang “memikul nilai ruhiyyah samawiyah”. Menurut Muthahhari, Islam aktual adalah Islamnya orang yang sudah pasrah kepada kebenaran dengan hatinya. Ia mengamalkan kebenaran yang diyakininya setelah ia menerima kebenaran itu melalui penelitian dan tanpa fanatisme. Bila ada orang yang telah berusaha mencari kebenaran, lalu ia menerima kebenaran itu dengan sepenuh hati, tetapi ia tidak memeluk agama Islam, Tuhan tidak akan mengazabnya. Berdasarkan firman Tuhan “Kami tidak akan mengazab mereka sebelum kami bangkitkan Rasul ” (QS. Al-isra’:15) dan kaidah ushul yang menyatakan “buruknya sanksi tanpa keterangan”, mustahil Tuhan menghukum orang diluar kemampuannya. Bila seseorang hanya mampu mengetahui kebenaran Kristen, misalnya, dan mengikuti dengan setia, pada hakekatnya ia sudah menerima Islam dalam pengertian kepasrahan yang tulus.

Muthahhari memberikan contoh Deskartes. Dalam pencarian kebenaran, Deskartes menerima Kristen sebagai agama yang benar, seraya mengatakan bahwa itulah agama yang dikenalnya dengan baik. Ia tidak menolak kemungkinan agama lain juga benar, hanya saja ia tidak mengetahuinya. Muthahhari menulis, “orang-orang seperti Deskartes tidak mungkin kita sebut kafir, karena mereka tidak mempunyai sikap membangkang kepada kebenaran dan tidak menyembunyikan kebenaran. Bukankah kekafiran adalah pembangkangan dan penutupan kebenaran. Mereka adalah muslim secara fitriah. Jika kita tidak dapat menyebut mereka muslim, kita juga tidak dapat menyebut mereka kafir”.

Jadi Islam sebagai agama bukanlah yang menjadi symbol belaka, bukanlah institusi, Islam sebagai agama bukanlah menjadi lembaga yang nantinya pengakuan atas eksistensi keIslamannya hanya karena terdapat dalam data statistic bahwa kita beragama Islam atau hanya karena terdapat dalam KTP, makanya kita dapat di sebut sebagai orang Islam. Olehnya itu, sangatlah wajar ketika ada yang mengatakan bahwa banyak dari umat manusia yang mengaku beragama Islam tetapi Islamnya hanyalah Islam KTP. Islam sebagai agama meniscayakan ketundukan, kepaTuhan, dan kepasrahan secara totalitas kepada sang Khalik, sebagai mana Islamnya Ibrahim as, bukanlah Islamnya orang-orang Badui yang belum masuk iman kedalam hatinya.

MENJEJAKI ISLAM UNIVERSAL

Hal yang subtantif dalam memahami Islam universal adalah manusia memahaminya sebagai ajaran yang mampu mengarahkan misi kemanusiaannya sebagai mana bangunan kesadaran pengetahuan dan proses dialektika sebagai bentuk paradigma holistic Islam baik dalam perspektif eksklusif maupun dalam pendekatan inklufisisme untuk memahami kondisi substatif nilai-nilai ajaran Islam universal. Islam dalam aspek kemanusiaannya mengajarkan tentang bersikap arif atau bijaksana dalam melihat berbagai segi keummatan, olehnya itu Islam tidak akan pernah menutup diri dalam membina hubungan kemanusian, Islam universal adalah Islam yanyg memiliki etika dan moralitas dalam hubungannya dengan ajaran-ajaran agama lain serta memiliki peranan dan karakterisik yang terbuka dan peluang bagi semua pihak yang ingin mengetahui dan menganalisis tentang nilai ajaran Islam sebagai bentuk Islam transformative. Dalam bukunya moeslim abdurahman; “Islam sebagai kritik social” menyatakan bahwa nilai universal Islam transformatif adalah suatu proses dimana manusia dapat menyampaikan dan menerima peran nilai-nilai Islam dari manusia atau individu dan kelompok lain dengan manusia lain guna untuk membentuk sebuah makna baru dalam sistimatisasi makna substantive Islam universal yang dimaksud tersebut, begitu pula Cak Nur ketika menerjemahkan Islam sebagai agama kemanusiaan dalam bingkai egalitarianisme dan universal brotherhood.

Dalam hubungannya kemanusiaan, Islam mendakwahkan ajarannya sebagai ajaran kebenaran, Islam memiliki ruang makna yang sesungguhnya mendekap pada dimensi kemanusiaan dan dalam tingkat hubunganya dengan sesama itu merupakan sebuah dialektika yang mendorong bangkit dan tumbuhnya kesadaran natural dan kemanusiaan yang berbuah iman, dalam bangunan kesadaran tersebut merupakan hal yang meendasar dalam diri manusia untuk melihat pesan kemanusiaan yang Muhammad sampaikan dalam bingkai kehidupannya, oleh sebab  itu kehadiran Islam harus di pahami sebagai ajaran universal bagi kemanusiaan dalam kehidupan social yang terus berubah, berkembang dan bergerak maju kedepan, Islalm di wahyukan Tuhan bukan bagi kepentingan Tuhan sendiri atau kepentingan umat tertentu yang menyatakan dirinya memeluk Islam, tetapi penebaran Rahmatnya bagi seluruh umat manusia dan semesta kehidupan. Untuk itu perlu disadari bahwa tidak ada sebuah jaminan pun yang bisa dijadikan argument bahwa Islam hadir untuk komunitas tertentu atau golongan tertentu akan tetapi Islam hadir sebagai rahmat bagi seluruh semesta alam. Pemaknaan terhadap nilai-nilai universalitas keIslaman itu tidak hanya dilihat secara parsial akan tetapi itu di lihat secara terbuka, dalam hal ini untuk memaknai konsep keIslaman yang meliputi bagi seluruh alam semesta (Rahmatanlilalamin), demi terwujudnya keadilan di bumi Tuhan.

 

Penulis; Muhamad Yunus A

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada November 13, 2012 inci AGAMA

 

KEBUDAYAAN; MENJEJAKI HARMONI KEHIDUPAN

Oleh Muhamad Yunus Anwar

Dalam Memahami masyarakat tentunya berangkat dari kumpulan individu yang menempati suatu wilayah atau territorial tertentu(geografis), kemudian terdapat pula system dan pola yang terkandung didalamnya, entah berkaitan dengan norma, aturan, tata nilai, tradisi atau budaya yang menuntun masyarakat menuju tujuan kolektif yang hendak dicapai.Olehnya itu, dalam ruang social (social space) terdapat tradisi, adat istiadat, tata nilai, dan budaya yang mengikat masyarakat dalam mengarungi samoedra kehidupan.Budaya menjadi salah satu unsur yang membentuk masyarakat sehingga masyarakat memiliki watak dan karakter.Budaya juga memiliki muatan penting berkenaan dengan sejarah, falsafah dan kearifan local sebagai landasan gerak masyarakat.Pola hidup masyarakat bergantung sungguh pada budaya yang terdapat dalam masyarakat tersebut, entah berkenaan dengan keharmonisan hidup ataupun sebaliknya.Untuk itu tatanan masyarakat yang beradab ataupun tidak beradab sepanjang sejarah manusia sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat.

Sejarah menjelaskan bangunan kebudayaan dalam sebuah tatanan masyarakat, nah melacak kembali sejarah pastinya terdapat pergeseran kebudayaan dalam setiap masa dan zaman.Pergeseran kebudayaan terjadi karena ada nilai yang diusung oleh masyarakat, kemudian terjadi pertarungan nilai (baik dan buruk).Sebenarnya Budaya memiliki muatan nilai yang baik, namun dikala dipertautkan dengan fakta sejarah terdapat individu (manusia) yang melakukan keburukan atau kejahatan kemanusiaan, sehinggal hal tersebut menggerakkan sejarah lalu terjadi benturan.Benturan kebudayaan itulah yang menyebabkan terjadinya pergeseran budaya.

Setiap bangsa memiliki entitas kebudayaan yang berbeda antara satu dengan yang lainya. Indonesia digagas atas dasar konsep “nation state”(Negara Bangsa), Negara (state) menjelaskan batas territorial sedangkan bangsa (nation) memberikan pengertian berkenaan masyarakat Indonesia yang majemuk. Kemajemukan tersebut dapat ditilik dari tradisi, budaya, agama, suku dan bangsa yang beragam.Oleh karena terdapat beragam bangsa maka beragam juga kebudayaan dan tradisi masyarakat Indonesia, mulai dari sabang sampai merauke.

Masyarakat Papua, Sulawesi, Kalimantan, Jawa, Sumatera, Aceh, Bali, Lombok, Sumbawa dan Bima masing-masing memiliki entitas kebudayaan. Artinya Dana Mbojo (Bima) memiliki latar belakang sejarah dan tradisi serta budaya tersendiri yang membedakan masyarakat bima dengan yang lain. Budaya Bima menjadikan masyarakat memiliki identitas, maka tercerabutnya identitas masyarakat merupakan tercerabutnya maksyarakat bima dari akar kebudayaan.Tentunya masyarakat bima memiliki tradisi dan kebudayaan berkenaan dengan falsafah hidup, kearifan local, serta ritual kebudayaan yang diwariskan secara turun temurun. Muatan falsafah hidup, kearifan local, serta riutual budaya mbojo tersebut misalnya“toho mpara ndai sura dou marimpa, toho mpara ndai sora dou lab’bo dana, maja la’bo dahu, ngaha aina ngoho, lembo ade, kasa’bua renta la’bo rawi nde’I ka nda’di, nggahi rawi pahu, mbolo ro dampa, meci angi, lamba angi, tari, kalero, gantao, ‘buja ka ‘danda”,serta masih banyak warisan kebudayaan lainnya mesti digali, diungkap, dijaga, dapelihara dan dilestarikan. Ukilan-ukilan tersebut telah menjadi kearifan local dan landasan hidup masyarakat Dana Mbojo yang didalamnya tersirat nilai kebaikan serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, meskipun ada pula yang berbenturan dan bertentangan dengan beberapa hal yang telah disebutkan diatas.

Beragam warisan kebudayaan bima mesti dilestarikan sepenuhnya oleh masyarakat dan stakeholder yang ada di dana mbojo. Dinas kebudayaan dan pariwisata sebagai representative pemerintah memiliki peran strategis dalam melestarikan dan menjaga keutuhan budaya bima, begitupun dengan budayawan atau penggiat kebudayaan. Upaya pelestarian budaya bima juga mestinya didorong untuk membentuk dan mendirikan sanggar budaya serta maksiamlisasi socialisasi gagasan tentang keaslian budaya bima menjadi keharusan dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat.

Adapun hal-hal yang bertententangan dengan budaya dan kearifan local (ncao ro ncaka, ka ma’bu angi, nuntu kiha angi, dst), mestinya diminianilisir serta didekonstruksi agar terwujud keutuhan budaya bima yang humanis. Masyarakat bima harus memiliki pengetahuan tentang budaya demi terbangunnya kesadaran budaya.Namun tak dapat dipungkiri terjadi pergeseran budaya dari generasi kegenerasi oleh karena arus kebudayaan dari luar bima yang kadangkala tak mampu dibendung sehingga masyarakat bima tercerabut dari akar kebudayaannya sendiri, kemudian mengalimi krisis identitas, lalu mencari sebuah identitas baru yang justeru bertentangan dengan budaya bima.

Untuk itu, kemampuan untuk memilah dan membedakan budaya asli dana mbojo dengan budaya yang datang dari luar ,mestinya dimiliki oleh masyarakat bima. Tradisi ‘batu lata’ mempermudah diserapnya oleh masyarakat bima budaya yang datang dari luar. Adalah baik jika arus kebudayaan yang datang dari luar dapat memberi efek positif bagi masyarakat, dalam hubungannya dengan terjadi proses akulturasi (bertemunya beragam kebudayaan lalu terbentuk kebudayaan baru) yang nantinya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Dewasa ini nampak justru masyarakat bima tercerabut dari akar kebudayaan serta mengadopsi budaya yang bertentangan dengan budaya yang telah diwariskan secara turun temurun, kemudian terjadi krisis identitas, bahkan generasi muda dan masyarakat pada umumnya kehilangan arah hidup karena tak memiliki lagi fasafah hidup yang mestinya dinternalisasikan untuk menuntun hidup dalam ruang social sehingga masyarakat bima dapat menyongsong masa depan yang cerah dalam bingkai gerakan kebudayaan. Kemudian Problematika social yang terjadi di Bima pada umumnya memiliki relasi yang erat dengan budaya, akan tetapi budaya yang tumbuh subur dewasa ini tidak membawa angin segar bagi masyarakat. Oleh karena terjadinya krisis identitas budaya hingga belum mampu menggapai obat penawar bagi penyakit social kemasyarakatan yang kian menggurita diTanah Mbojo maka perlu kiranya dibuka Ruang dialogis Untuk mendialogkan KEBUDAYAAN sehingga terdapat relevansi antara mekanisme atau aturan yang ditetapkan oleh Pemerintah dengan efek socialnya, relevasinya antara peran budayawan atau penggiat kebudayaan dengan kondisi social yang terjadi dalam ruang lingkup daerah Mbojo, begitupun dengan peran masyarakat dan seluruluruh elemen lainnya. Terinternalisasinya nilai budaya dan kearifan tradisional akan menopang terciptanya harmoni kehidupan, baik dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Gambar

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Agustus 29, 2012 inci KEBUDAYAAN

 

PENGUATAN CIVIL SOCIETY IKHTIAR MEMBANGUN BANGSA

BAGIAN KESATU
PENDAHULUAN
Walaupun praktek demokrasi di era transisi ini belum berjalan sebagaimana mestinya, tetapi diskursus mengenai demokrasi telah cukup berkembang, sehingga diskusi mengenai demokrasi tidak cukup lagi dengan bahasa umum yang abstrak. Kini diperlukan pembahasan demokrasi yang lebih elaboratif dan kreatif, dengan menelaah semua elemen yang membentuknya seperti civil society.
Sebagai elemen penegakan sistem demokratik, sayangnya gagasan civil society hingga kini belum mendapat penelitian serius. Padahal, besemainnya taman kehidupan demokratis akan selalu mengandaikan adanya masyarakat yang kuat dan mandiri berhadapa dengan watak opresif dan hegemoni negara.
Civil society merupakan elemen penting yang dapat menopang tegaknya demokrasi, dengannya dapat pula membangun bangsa menuju masa depan yang lebih cerah, sayangnya elemen civil society (masyarakat sipil) belum terkonsolidasikan secara masif sebagai upaya melakukan massifikasi gerakan penyeimbangan kekuatan dengan negara. Proses puntuk menyeimbangkan kekuatan tidak semudah membalikkan telapak tangan, namun membutuhkan perjuangan yang panjang dan melelahkan. Untuk itu butuh komitmen dan konsistensi perjuangan dalam mewujudkan negara yang demokratis
Himpunan Mahasiswa Islam Merupakan Salah satu elemen civil society (masyarakat sipil) di tanah nusantara ini yang harus senantiasa membangun gerakan yang ingklusif, progressif dan militan untuk melakukan konsolidasi kekuatan. HMI merupan lembaga yang sangat strategis dalam melakukan perbaikan ditengah kondisi bangsa yang abnormal. Sejauh ini sentimen kelembagaan, sentimen primordial, sentimen keagamaan masih menjadi obstacle dalam mewujudkan perubahan masyarakat. Olehnya karena itu harus maksimal dalam mengupayakan untuk meretas hal-hal yang dekontruktif, yang menyebabkan suramnya wajah bangsa.
Antonio Gramci telah mengingatkan kita bahwa manakala negara lebih kuat dari pada civil society (masyarakat sipil) maka akan terjadi otoritariansm dan diktatorianism, kalau sebaliknya terjadi maka akan terjadi anarkism. Rezim Soekarno maupun rezim Soeharto telah memperlihatkan kekuatan negara yang sangat dahsat hingga yang tumbuh dan berkembang adalah negara yang otoriter. Olehnya itu menjadi sebuah keniscayaan untuk melakukan penyeimbangan kekuatan antara Negara dan civil society (masyarakat sipil) agar terwujud nilai demokrasi yang subtantif seperti yang telah dirumuskan oleh Samuel Huntington. Bukan demokrasi prosedural yang hanya memberikan ruang kepada rakyat untuk menetukan pilihan politik dibilik suara setiap lima tahun sekali atau demokrasi yang hanya hadir dibilik suara dan rakyat tidak mengetahui nasibnya Lima tahun kedepan seperti apa.
BAGIAN KEDUA
Beberapa Pengertian & Konsep Civil Society
Dalam membicarakan civil society pada konteks masyarakat Indonesia tak bisa tidak kita memerlukan kejelasan mengenai kerangka teori mana yang dipakai dan bagaimana melakukan kontekstualisasi sehingga konsep tersebut betul-betul dapat diterapkan secara proporsional dan masuk akal. Konsep civil society mengalami perubahan pemahaman lebih dari dua abad terakhir, mulai dari zaman Pencerahan ketika konsep itu dipergunakan oleh para filsuf politik sampai pada ujung abad kedua puluh ketika konsep tersebut di “ketemukan” kembali oleh para aktivis pro-demokrasi. Setidaknya, konsep civil society telah digunakan dalam beberapa pengertian:
1. Sebagai visi etis dalam kehidupan bermasyarakat,
2. Sebagai sistem kenegaraan
3. Sebuah elemen ideologi kelas domsinan, dan
4. Sebagai kekuatan penyeimbang dari negara
Pengertian civil society sebagai gagasan etis dipergunakan oleh para filsuf Pencerahan. Salah satunya adalah Adam Ferguson (1776), filsuf asal Skotlandia, yang memahami civil society sebagai “sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat.” Ferguson menggunakan pemahaman ini untuk mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri dan munculnya kapitalisme. Keduanya bertanggung jawab atas bertambah mencoloknya pembedaan antara yang publik dan yang privat. Munculnya ekonomi pasar, menurut Ferguson, melunturkan tanggung jawab publik dari warga karena dorongan kepentingan pribadi. Dengan civil society, maka Fergusosn berharap kembalinya semangat publik untuk menghalangi munculnya despotisme. Sebab dalam civil society itulah solidaritas sosial muncul yang diilhami oleh sentimen moral dan sikap saling menyayangi antar-warga secara alamiah.
Civil society sebagai konsep kenegaraan muncul lebih awal, bahkan orang melacaknya sampai zaman Yunani kuno. Asal muasalnya adalah apa yang disebut Aristoteles sebagai kinomia politike, sebuah komunitas politik dimana warga (citizen) terlibat langsung dalam pengambilan keputusan. Cicero menyebut komunitas ini dengan societas civilis, sebuah komunitas yang mendominasi komunitas-komunitas yang lain. Pemahaman civil society seperti ini berlaku sampai paruh kedua abad kedelepan belas. Hobbes dan John Locke menggunakan istilah civil society sebagai tahapan evolusi dari natural society, sehingga civil society adalah sama dengan negara. Pihak yang terakhir ini muncul karena masyarakat memerlukan sebuah entitas baru yang dapat meredam konflik sehingga warga masyarakat tidak saling menghancurkan (Hobbes) atau agar kebebasan dan hak miliknya terlindungi (Locke).
Dua pandangan mengenai negara/civil society harus berkembang. Bagi Hobbes, negara/civil society harus memiliki kekuasaan absolut pada warga. Sementara itu, Locke menolak pandangan seperti itu karena pada hakikatnya negara memiliki hak penuh untuk mengabaikan negara/civil society jika ia gagal dalam menjamin kebebasan dan hak milik pihak pertama. Negara/civil society yang baik justru yang kecil dan hanya mengurusi masalah-masalah yang memang tidak bisa dilakukan oleh warga negara. Tugas terpenting negara/civil society adalah memberikan perlindungan kepada warga dan hak-haknya agar mereka bisa mencapai kepentingannya secara penuh.
Konsep civil society sebagai negara ini mengalami perubahan pada paruh akhir abad kedelapan belas. Para pemikir dan aktivis liberal seperti Tom Paine tidak puas dengan penyamaan civil society dengan negara sehingga menganggap perlu adanya pemisahan antara keduanya. Negara harus dibatasi sampai sekecil-kecilnya karena keberadaannya hanyalah suatu keniscayaan yang buruk (necessary evil) belaka. Sementara civil society adalah ruang dimana warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya. Dengan demikian, civil society, harus lebih kuat dan mengontrol negara demi keperluannya.
Kendati pemisahan antara negara dan civil society dipertahankan, tetapi gagasan bahwa pihak pertama berada dalam kontrol pihak terakhir ditolak oleh Hegel. Bagi filsuf Jerman ini, sebaliknyalah yang terjadi. Civil Society, atau buergerliche gesellschaft, adalah sebuah lembaga sosial yang berada di antara keluarga dan negara, yang dipergunakan oleh warga sebagai ruang untuk mencapai pemuasan kepentingan individu dan kelompok. Ia tersusun dari elemen-elemen keluarga, korporasi/asosiasi, dan aparat administrasi/legal. Karena berada dalam posisi antara, maka civil society masih belum mampu melakukan kontrol dan mengatasi konflik internal melalui politik. Kemampuan politik itu hanya dimiliki oleh negara, sebagai entitas penjelmaan ide universal dan kerena itu, posisinya secara logis mengatasi dan mengontrol civil society.
Konsepsi Hegel yang bersifat historis sosiologis tersebut dipergunakan juga oleh Karl Marx kendatipun pemahaman yang sangat berbeda. Sambil tetap mempertahankan konsep civil society sebagai buergerliche geselschaft, Marx mereduksinya dalam konteks hubungan produksi kapitalis, sehingga civil society adalah kelas borjuis itu sendiri. Akibatnya, berbeda dengan Hegel, Marx menganggap civil society pun sebagai kendala bagi pembebasan manusia dari penindasan. Hapusnya civil society (the whitering away of civil society) jadinya merupakan tahapan yang harus ada bagi munculnya masyarakat tak berkelas.
Pandangan Marx yang ekonomistik deterministik terhadap civil society tidak diikuti oleh semua pemikir Marxist. Gramsci, umpamanya, mencoba menggunakan cara pandang lain, yaitu dengan menempatkan civil society bukan sebagi elemen basis material tetapi sebagai superstruktur. Civil society dalam pandangan Gramsci adalah arena bagi pergelaran hegemoni di luar kekuatan negara yang disebut Gramsci sebagai political society. Melalui civil society itulah aparat hegemoni beroperasi mengembangkan hegemoni untuk menciptakan konsensus dalam masyarakat. Dengan demikian, civil society dalam pengertian Gramsci merupakan momen “moral” dari kekuatan dominan, sementara merupakan momen “politik-etis”nya. Dengan demikian, civil society, kendati Gramsci memberikan penafsiran yang berbeda mengenai civil society, tetapi ia tak mempertentangkannya dengan negara. Gramsci hanya memberikan penafsiran terhadap civil society dari sisi ideologis (superstruktur) yang berbeda dengan Marx yang melihatnya dari relasi produksi (basis material). Karena itu, konsep Gramsci sebenarnya lebih dinamis, karena dalam momen hegemoni tersebut selalu terbuka kemungkinan counter-hegemoni dari kekuatan di luar negara. Gramsci menyebut adanya “kesadaran berlawanan” (contadictory consciousness) dalam setiap momen hegemoni yang membuka peluang bagi perlawanan atasnya.
Konsepsi yang terakhir, yaitu civil society sebagi kekuatan penyeimbang kekuatan negara dilakukan oleh Alexis de Tocqueville. Konsep Tocqueville yang dikembangkan berdasarkan pengalamannya di Amerika Serikat, sepintas lebih dekat dengan konsep Hegel yang memandang civil society sebagai gejala sosial dalam masyarakat modern. Namun jika diperhatikan lebih seksama sebenarnya ia berbeda dengan Hegel. Menurut Tocqueville posisi civil society tidak apriori subordinatif terhadap negara. Dalam pemahaman Tocquevillean, civil society di dalam dirinya memiliki kekuatan politis yang dapat mengekang atau mengontrol kekuatan intervensionis negara. Civil society, yang dimengerti sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dengan ciri-ciri kesukarelaan, keswasembadaan, keswadayaan, dan kemandirian berhadapan dengan negara, justru merupakan sumber legitimasi keberadaan negara kendatipun tidak sepenuhnya mengontrol yang terakhir. Sebab, bersifat inklusif. Sementara civil society, dalam dirinya cenderung pluralistis sehingga eksklusifisme senantiasa membayangi.
Tocqueville juga menekankan adanya dimensi kultural yang membuat civil society dapat berperan sebagai kekuatan penyeimbang, yakni keterikatan dan semangat kepatuhan terhadap dan norma-norma dan nilai hukum yang diikuti oleh warganya. Dengan properti budaya yang menjunjung tinggi kemandirian, kebebasan, dan kesetaraan derajat dimuka hukum itulah civil society Amerika Serikat kemudian menjadi contoh dan model bagi kemampuan masyarakat menegakkan sistem politik demokrasi. Civil society di AS menjadi fasilitator bagi organisasi politik dan sebaliknya organisasi politik memperkuat civil society dan membuatnya tetap berorientasi pada kepentingan publik. Dengan demikian, Tocqueville tidaklah menganggap hubungan antara politik dan civil society sesuatu yang asing karena saling memerlukan. Hubungan keduanya bersifat resiprokal, karena pada hakekatnya civil society merupakan sumber input bagi proses-proses politik, dan politiklah yang membuat civil society tidak hanya berorientasi kepada kepentingan sendiri tetapi sensistif terhadap kepentingan publik.
BAGIAN KETIGA
Telaah Kritis Civil Society dan Transisi Demokrasi Di Indonesia
Diskursus civil society kian menggema di bumi pertiwi ini, terbukti dengan adanya banyak teks yang membincang masalah kaitan dengan civil society serta di media, baik media cetak maupun media elektronik untuk 12 tahun terakhir ini senantiasa menjadi wacana yang hangat. Perbincangan yang di langsungkan bukan hanya melalui media elektronik, namun lewat diskusi publik, dialog terbuka, seminar, atau workshop telah menjadi media alternatif dalam membumikan wacana civil society. Nampak pekerja sosial atau lembaga-lembaga alternatif dengan upaya-upaya yang progresif dan militan menyeimbangkan kekuatan civil society dengan negara.
Negara dengan watak kekuasaannya memiliki kekuatan yang sangat dominan dan rakyat tak memiliki daya apa-apa di hadapannya. Hal ini dapat di tilik, manakala melakukan refleksi kritis terhadap sejarah perjalanan bangsa Indonesia sampai pada konteks kekinian. Politik Etis merupakan upaya kolonial untuk mencerdaskan anak bangsa dan di manfaatkan sebagai tenaga pekerja untk memaksimalisasi eksploitasi yang dilangsungkan oleh kolonial walaupun pada akhirnya politik etis telah memeberikan angin segar bagi anak bangsa untuk membangun kekuatan melawan kekuatan kolonial demi memerdekakan bumi pertiwi ini. Tiga setengah abad Indonesia di jajah, anak bangsapun mulai bangkit dengan membangun gerakan-gerakan alternatif di berbagai pulau dan penyatuan gerakanpun menggema manakala digaungkan sumpah pemuda sampai pada anak bangsa meraih kemerdekaan tanah airnya. Rezim Soekarno mulai mengintroduksi demokrasi di masa kepemimpinannya. Demokrasi yang dikonstruk di masa itu adalah demokrasi parlementer kemudian terjadi transisi menuju demokrasi terpimpin.
Sejak awal mula elemen civil society mulai tumbuh sejak sebelum kemerdekaan, namun belum ada gerakan yang massif karena tingkat konsentrasi gerakan elemen civil society adalah bagaimana memerdekakan bumi pertiwi. Sejak masa kepemimpinan Bung Karno elemen civil society mulai tertata gerakannya dengan membangun lembaga-lembaga alternatif upaya menyeimbangkan kekuatan dengan negara demi terwujudnya negara Indonesia yang demokratis. Sejak Orde Lama (Soekarno) kemudian tumbang dan sdigantikan oleh Soeharto (Orde Baru) hingga gerakan 1998 sebagai era Reformasi yang menumbangkan Rezim Soeharto yang otoriter dan diktator.
Rezim yang otoriter tak memungkinkan tumbuh kembangnya demokrasi, untuk itu memang menjadi sebuah keniscayaan untuk ditumbangkan sebagai langkah alternatif dalam membangun negara yang demokratis. Menjadi suatu negara yang demokratis mensyaratkan negara yang bersangkutan melalui suatu tahapan yang disebut tahap transisi demokrasi, tahapan ini akan dialami oleh negara-negara yang diperintah oleh rezim otoriter, sebagai bentuk untuk mencapai kondisi yang lebih demokratis.
Definisi tentang demokrasi cenderung disepakati dan mengacu kepada karya Samuel Huntington yang memberikan kerangka substantif demokratisasi, yaitu:
1. Berakhirnya sebuah rezim otoriter,
2. Adanya proses transisi yang memberikan kesempatan pada partisipasi publik dan liberalisasi politik menuju pembentukan rezim demokratis, dan
3. Konsolidasi Rezim demokrasi.
Para akademisi sepakat bahwa transisi demokrasi adalah tahap awal proses demokratisasi yang ditandai dengan peningkatan partisipasi publik, liberalisasi politik, peningkatan hak sipil, serta implementasi prosedur-prosedur demokrasi dal;am ruang publik. Tahap transisi tersebut disetiap negara terjadi melalui beberapa jalur yang berbeda tergantung dari pra kondisi demokrasi yang ada di masing-masing negara.
Kajian tahapan demokratisasi ini diterbitkan oleh Huntington, Huntington mengungkapkan adanya empat model transisi menuju demokrasi yaitu:
1. Jalur Transformation yang prosesnya diinisiasi oleh elite politik yang sedang berkuasa.
2. Jalur Transplacement yang dilakukan melalui negosiasi politik antara rezim politik pada kekuatan oposisi
3. Jalur Replacement yang terjadi karena adanya gerakan politik massa yang menuntut perubahan rezim
4. Jalur Intervention yang dilakukan oleh negara lain secara politik, ekonomi, atau operasi militer.
Model Transisi dan waktu pelaksanaan transisi akan berbeda, antara satu negara dengan negara yang lainnya. Perbedaan ini muncul disebabkan oleh ragam prakondisi demokrasi yang ada di masing-masing negara.
Ada tiga prakondisi demokrasi yang menimbulkan deviasi transisi demokrasi. Prakondisi pertama adalah modernisasi dan kesejahteraan. Prakondisi ini diungkapkan oleh Seymour M. Lipset, secara tegas menyatakan “semakin kaya suatu bangsa, semakin besar peluang negara tersebut untuk melangsungkan demokrasi”. Pendapat Lipset itu didukung oleh Dahl, yang mengatakan bahwa korelasi positif antara tingkat modernisasi dan kesejahteraan suatu negara dengan keberhasilan demokratisasi sebagai tesis yang sulit untuk selalu diperdebatkan. Huntington juga melakukan afirmasi bagi tesis Lipset dengan mengelaborasi sejumlah faktor kondusif yang ditimbulkan dari modernisasi dan kesejahteraan bagi demokratisasi, seperti tingkat melek huruf dan tingkat pendidikan, urbanisasi, dan media massa. Prakondisi kedua adalah budaya politik. Konsep tersebut diperkenalkan oleh Almond dan Verba ini, menekankan aspek fenomenologis sebagai prasyarat tumbuhnya demokrasi. Prakondisi ketiga adalah struktur sosial yang ditrandai dengan keberadaan kelompok tertentu dalam masyarakat akademisi, pekerja media massa, kelompok menengah, dan aktivis masyarakat sipil yang secara konsisten dan proses demokratisasi. Misalnya oleh Moore, yang melihat peran kelompok bojuis di Inggris dalam transisi demokrasi dan Therborn yang melihat peran kelompok pemilik modal dalam transisi demokrasi.
Proses transisi ini akan menghasilkan instalasi sistim demokrasi jika diikuti dengan konsolidasi demokrasi, menurut Whitehead, mencakup peningkatan fundamental komitmen publik untuk menggunakan prosedur-prosedur demokratis untuk menata ruang publik yang muncul dalam proses bernegara. Tanpa adanya konsolidasi demokrasi, prosedur-prosedur demokrasi yang diterapkan cenderung hanya akan menjadi etalase demokrasi yang tidak memiliki penetrasi kedalam sistem politik negara. Prosedur-prosedur demokratis untuk melakukan instalasi demokrasi terdiri dari dan tidak terbatas pada pelaksanaan pemilihan umum, amandemen konstitusi negara, devolusi politik, desentralisasi dan dekonsentrasi, serta revisi sistem hukum nasional. Pada dasarnya, komotmen publik terhadap prosedur demokratis merupakan langkah awal untuk membangun budaya politik demokratik yang diharapkan muncul setelah proses institusionalisasi demokrasi terjadi.
Akan tetapi, analisis sistemik kontemporer yang diberikan oleh Kaplang, yang melihat bahwa pembentukan negara bangsa didunia ketiga cenderung diwarnai oleh instabilitas demokratisasi, kemunculan gejala tribalism, dan ethtic cleansing. Gejala chaos didaerah pinggiran ini di kaji oleh Kaplang secara sesiprokal dengan berusaha mencari garis penghubung antara dinamika sistemik dan suatu proses demokratisasi.
BAGIAN KEMPAT
Civil Society Sebagai Penopang Masa Depan Bangsa
Proses demokratosasi lebih identik dengan konflik daripada perdamaian. Mansfield dan Snyder memperingatkan bahwa proses demokratisasi dinegara yang memiliki legitimasi vertikal dan kencenderung rendah, seperti indonesia diikuti oleh (1). Pelebaran spektrum politik, (2) kemunculan kepentingan sesaat yang dapat dinegosiasikan dikalangan elit, (3) kompetisi untuk mendapat dukungan massa seluas-luasnya, dan (4) melemahnya otoritas politik pusat. Keempat dampak demokratisasi ini cenderung akan membaca masyarakat kearah konflik horisontal terutama karena institusi politik yang ada tidak dapat mengantisipasi ledakan partisipasi politik yang begitu besar.
Dengan demikian, proses demokratisasi akan cenderung diiringi dengan proses konsolidasi kekuatan yang dapat secara efektif mengelola potensi penggunaan kekerasan. Kompetisi untuk mengelola kekerasan ini akan menghantui proses demokratisasi dan kegagalan intitusi politik untuk mengelola kekerasan yang memicu perang internal.
Setelah lebih dari tiga puluh tahun indonesia diperintah oleh rezim Soeharto yang otoriter, indonesia mulai memasuki tahap transisi menuju kepemerintahan yang lebih demokratis. Waktu tiga puluh tahun tersebut rakyat indonesia sangat dibatasi hak-politoknya, namun demikian hak-hak ekonomi rakyat pada saat itu cukup terpenuhi sehingga gelombang protes terhadap rezim otoriter yang berkuasa belum mengemuka.
Rakyat mulai memprotes rezim yang berkuasa ketika indonesia terpengaruh oleh krisis ekonomi regional yang terjadi diparuh kedua dekade 90-an. Tidak terpenuhinya dengan baik kebutuhan ekonomi pokok membuat rakyat mulia melancarkan protes-protes pada rezim yang berkuasa, dan protes tersebut meluas tidak hanya menuntut pemenuhan kebutuhan ekonomi, namun pelaksanaan hak-hak asasi lainnya (misalnya hak politik). Gelombang protes tersebut kemudian berhasil menjatuhkan rezim Soeharto pada bulan Mei 1998. Sesudah itu, indonesia memasuki tahap transisi yang disertai dengan proses desentralisasi yang menekankan pada ekonomi rakyat dan pelaksanaan pemerintahan yang lebih transparans. Proses transisi demokrasi merupakan yang rawan karena dalam proses tersebut terjadi perubahan dari A ke B yang sifatnya irreversible dan mendasar dimana masing-masing kondisi tersebut memilki karakter yang statis. Masa tansisi merupakan tahapan yang memiliki resiko tinggi karena syarat dengan ketidakpastian dan rentan terhadap kekerasan. Dalam tahapan ini, selalu ada kelompok-kelompok masyarakat yang menginginkan kembalinya rezim otoritarian, yang didasari oleh kepentingan kelompok atau karena anggapan bahwa otoritarian merupakan salah satu rezim yang stabil, hal ini terjadi pula diindonesia. Indonesia berulang kali harus berhadapan dengan hambatan-hambatan menuju proses demokratisasi dalam berbagai dimensi, yakni ekonomi dengan inflasi dan tingginya angka pengangguran, ancaman keamanan melalui teror dan penggunaan kekerasan.
Ada beberapa kondisi yang dapat mendukung kelancaran proses transisi demokrasi dan mengurangi akibat negatif yang ditimbulkan oleh kerawanan proses tersebut. Kehadiran masyarakat sipil diidentifikasi sebagai pilar utama yang dapat membantu kelancaran proses trassisi demokrasi, mengingat bahwa demokrasi adalah sebuah kondisi dimana rakyat memiliki sesuatu kesempatan untuk secara aktif menentukan nasibnya sendiri dengan mengkompromikan hak-hak asasi induvidu yang mereka miliki. Dalam hal ini. Kehasiran masyarakat sipil mampu memberdayakan individu dalam masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya dan menggerakan politik global kearah yang lebih partisipatoris.
Kehadiran civil society (masyarakat sipil) sebagai pilar demokrasi tidak dapat dilepaskan dari hakikat masyarakat sipil itu sendiri. Konsepsi masyarakat sipil mengalami evolusi yang panjang. Masyarakat sipil merupakan sebuah ruang publik dimana penduduk dapat melakukan aktifitas-aktifitas politik secara independen terhadap state. Masyarakat sipil sendiri terdiri dari berbagai organisasi nonpemerintah (Organisasi Masyarakat Sipil) yang kuat mengimbangi negara dan mencegahnya mendominasi aktofitas masyarakat, tanpa menghalangi negara untuk memenuhi perannya sebagai peacekeeper dan arbitrator diantara pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu.
Walaupun demikian, kontribusi Civil society atau masyarakat sipil dalam transisi demokrasi di Indonesia mulai dipertanyakan ketika kemunculan organisasi masyarakat sipil tersebut diinduksi oleh aktor eksternal yang anrara lain donor internasional. Sama dengan proses munculnya masyarakat sipil di negara berkembang pada umum nya juga, proses kemunculan masyarakat sipil di Indonesia lebih banyak diakibatkan oleh kekuatan eksternal, seperti respon terhadap kebutuhan donor untuk menyalurkan bantuannya dan menyebarkan nilai-nilai demokrasi dan pembangunan yang dianutnya. Berbeda dengan kemunculan masyarakat sipil di Eropa cenderung terjadi karena adanya kekuatan internal yang menginginkan perubahan tatanan sosial politik. Di negara-negara Eropa, rakyat secara sadar membentuk masyarakat sipil untuk melindungi hak dasarnya dari tindakan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah, serta berusaha membuat pemerintah mempertimbangkan pertanggungjawaban tindakannya kepada rakyat dalam pengambilan keputusan. Sementara itu, kemunculan masyarakat sipil di negara-negara dunia ketiga terjadi karena adanya upaya penyebaran gagasan-gagasan neoliberal, melalui suatu konsep yang mendukung proses desentralisasi akan merangsang pertumbuhan ekonomi dan demokratisasi. Pengaruh lain dari pihak asing adalah pembentukan masyarakat sipil berupa pemberian dana bantuan untuk advokasi dan pembangunan kapasitas masyarakat sipil yang diberikan oleh institusi-institusi inrenasional karena lemahnya masyarakat sipil di negara-negara dunia ketiga, termasuk indonesia.
civil society (masyarakat sipil) merupakan elemen yang dapat menopang masa depan bangsa, oleh karena jika terjadi penyeimbangan kekuaatan maka akan tercipta cek and balance antara negara dan civil society (masyarakat sipil). Negara domokratis akan terejawantah dibumi pertiwi ini jika telah terjadi konsolidasi kekuatan serta seimbangnya kekuaatan negara dan civil society (masyarakat sipil) tersbut demi menyongsong masa depan bangsa yang cerah.
BAGIAN KELIMA
Penutup
Civil Society pada intinya dalah penyeimbangan kekuatan dengan negara yakni keterikatan dan semangat kepatuhan terhadap dan norma-norma dan nilai hukum yang diikuti oleh warganya manakala negara lebih kuat dari pada civil society (masyarakat sipil) maka akan terjadi otoritariansm dan diktatorianism, kalau sebaliknya terjadi maka akan terjadi anarkism. Rezim Soekarno maupun rezim Soeharto telah memperlihatkan kekuatan negara yang sangat dahsat hingga yang tumbuh dan berkembang adalah negara yang otoriter.
Setelah terjadi keruntuhan Rezim Orde baru maka bangsa ini memasuki babak baru yang telah diberi nama Reformasi, dan setelah di telaah secara kritis dan ternyata agenda-agenda reformasi ternyata gagal total, alias tidak ada yang terwujud satupun hingga saat ini. Maka melihat kegagalan yang dialami oleh Reformasi maka sepatutnya ada konsep baru yang harus di di tawarkan sebagai konsep untuk pembangunan bangsa ini kedepannya. Maka dari itu sudah sepatutnya civil society haruslah menjadi tawaran untuk pembangunan bangsa ini kedepannya.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Agustus 28, 2012 inci SOSIAL

 

AGAMA DAN REALITAS SOSIAL

Oleh : Muhamad Yunus A. Rj
Lembaga Pendidikan & Advokasi Rakyat (LEMPARA)

Dalam konteks ke-Indonesia-an, Bumi Pertiwi ini sangatlah pluralistic dan hal ini dapat di tilik dari semboyan Negeri ini yakni Bhineka Tunggal Ika yang jikalau dialihkan kedalam bahasa Indonesia yakni “betapa indah dan mempesonanya persatuan justru karena adanya perbedaan dan kemajemukan”. Dalam berbagai realitas kehidupan rakyat Indonesia, terdapat perbedaan dari berbagai segi (perbedaan Budaya, bahasa, etnis, Agama ect), berbagai perbedaan inilah yang harus dirawat dan dilindungi sebagai kekuatan fundamental dalam menjaga keutuhan bumi pertiwi demi mewujudkan masa depan Nation State of Indonesia yang cerah sehingga perbedaan tidak dijadikan sebagai alat yang dapat melegitimasi rakyat Indonesia untuk melakukan dekonstruksi pada tatanan yang ada dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tercinta ini.

Setelah Merefleksi secara kritis kondisi kebangsaan maupun kedaerahan, masih sangat banyak problem yang terjadi bahkan kian menggurita sampai dipelosok negeri ini, perbedaan yang diharapkan  untuk dirawat dan dilindungi sebagai kekuatan fundamental bangsa ini, justru telah menyebabkan terjadinya gejolak social ataupun gelombang yang begitu dahsyat dalam bentuk konflik social terutama dalam kaitannya dengan Agama sehingga meniscayakan semua elemen untuk merumuskan problem solving dalam penyelesaiannya.

Fakta social menjelaskan bahwa agama telah menjadi sumber malapetaka bagi rakyat Indonesia, kejadian di Ambon, Poso, lombok atau beberapa daerah lainnya telah memberikan contoh kongkrit konflik social dikarenakan oleh sentiment keagamaan, diskursus yang kaitan dengan Terorisme, Ahmadiyah, ataupun banyak lagi kelompok, golongan atau aliran keagamaan yang tumbuh dan berkembang diberbagai daerah di Indonesia berkonflik, lagi-lagi terjadi karena sentiment dan fanatisme terhadap agama.

Dalam frame politik pun terjadi gejolak yang sangat dahsyat oleh karena sebagian pemimpin Bangsa dan elit-elit partai politik dengan berjubahkan keagamaan atau simbolisasi agama hanya untuk melegitimasi segala bentuk tindakannya. Agama telah menjadi komoditas politik pada momentum pemilu, pilpres, pilkada, ataupun pilkades, agama hanya dijadikan sebagai Tiket atau kartu politik untuk mendapatkan kekuasaan atau agar bisa duduk di singgasana kekuasaan. Wajah agama menjadi sangat suram jika lau di tilik dari frame politik, baik pada tingkat Nasional maupun pada tingkat lokal.

Pun dalam konteks Regional, Agama masih dalam problem yang sama ataupun mirip dengan beberapa item yang di ungkap diatas, agama masih belum mampu membuka tabir yang kaitan dengan realitas social ditengah otonomi Daerah, agama masih didominasi oleh ritualitas belaka tanpa ada penyeimbangan dengan ibadah social. Problematika social yang terjadi dibima pada umumnya dan wera pada khususnya sangat erat kaitannya agama, akan tetapi agama tidak membawa angin segar bagi masyarakat, yang kemudian mengeluarkan masyarakat dari berbagai macam problem yang menimpanya. Oleh karena Agama belum mampu menjadi obat penawar bagi penyakit social kemasyarakatan yang kian menggurita diTanah Mbojo maka perlu kiranya dibuka Ruang dialogis Untuk mendialogkan tentang keagamaan sehingga terdapat relevansi antara mekanisme atau aturan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah (PEMDA) dengan efek socialnya, relevasinya antara khutbah atau ceramah keagamaan oleh ulama ataupun Da’I dengan kondisi social yang terjadi dalam ruang lingkup daerah Mbojo.

Perlu pula untuk di telaah yang kaitan dengan sejauh mana peran departemen agama selaku institusi keagamaan dalam menyikapi dan menyelesaikan problem social yang terjadi dibima, Departemen Agama tidak hanya menjadi lembaga yang ngurus administrasi atau hanya mengurus yang kaitan dengan Haji, sehingga wajar manakala ada ungkapan seharusnya departemen agama menjadi panitia haji aja. Maka dari sini perlu bagi institusi keagamaan untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat dengan memberikan porsi yang lebih pada pesoalan social kemanusiaan. Ibadah ritual dan ibadah social haruslah dimplementasikan pada tingkatan praksis sehingga memimiliki sinergitas antara hubungan yang dijalin dengan Tuhan dan Hubungan yang dijalin dengan sesama manusia, sehingga agama tidak hanya berkaitan dengan teologis akan tetapi harus berkaitan juga dengan persoalan kemanusiaan bagi masyarakat Bima demi menata, memperbaiki serta menyongsong masa depan bima yang lebih baik kedepannya.

Masyarakat bima yang dalam kaitan dengan keagamaan adalah mayoritas muslim yang meniscayakan subuah formulasi baru serta spirit baru dalam mendakwahkan Islam, sehingga sikap fanatisme dan sentiment yang selama ini ada dalam masyarakat bisa di minimalisir menuju teraktualnyaa tujuan subtantif keberagamaan. Harus pula disadari bahwa agama hadir bukan semata-mata  menuntut manusia untuk “Ngurusi Tuhan”  akan tetapi kehadiran agama adalah untuk kemanusiaan (baca Teologi Kiri; Munir Mulkhan). Seperangkat spirit perjuangan dalam medakwahkan agama Tuhan adalah untuk kemanusiaan. Manakala lautan manusia dimuka bumi, ditanah nusantara, ditanah Bima atau di Wera melakukan penindasan, menyebabkan merajalela atau mengguritanya kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan, hal itu merupakan bagian dari dehumanisasi yang tidak mencerminkan sikap keberagamaan.

Adalah penting bagi semua elemen untuk menginternalisasikan nilai-nilai keagamaan, sehingga tidak terjebak pada ritus-ritus keagamaan. Ritus-ritus keagamaan harus  ubah menjadi aksi kemanusiaan. Kasih sayang Tuhan yang meliputi langit dan bumi, seharusnya tidak disempitkan hanya untuk kelompok tertentu, mazhab tertentu, atau aliran tertentu pula, namun Rahmat Tuhan harus dinisbahkan bagi seluruh mahluk, peduli dari manapun dia, kaya atau miskin, peduli apapun agamanya atau dari kelompok manapun dia, sehingga tatanan masyarakat yang penuh dengan keharmonisan dapat teraktual dalam wilayah praksis.

Olehnya itu, upaya merumuskan formulasi baru mejadi sebuah keniscayaan untuk dilakukan oleh semua elemen. Depepartemen agama selaku institusi keagamaan harus lebih peka terhadap realitas masyarakat sehingga ada upaya untuk memaksimalkan kinerjanya serta berkoordinasi dengan elemen-elemen lainnya. Pun demikian dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau organisasi keagamaan lainnya harus pula mampu melihat realitas kemanusiaan sehingga tidak terjadi parsisalisasi gerakan keagamaan (pemihakan pada kelompok tertentu) seperti yang terjadi sebelumnya. Para ulama, Da’i, remaja Mesjid atau elemen lainnya pun harus lebih pro aktif dalam melakukan pencerahan serta kampanye pemihakan terhadap perrsoalan kemanusiaan.

Maka seruan yang tepat adalah mengajak seluruh elemen untuk memihak pada persoalan kemanusian. Mari kita melihat kemiskinan, kebodohan, penindasan, ketidakadilan, korupsi (Maling Uang Rakyat), illegal logging (Maling Kayu), illegal fishing (Maling Ikan), dan yang sama dengan hal demikian sebagai persoalan kemanusiaan yang merupakan musibah social kemanusiaan yang harus disingkirkan dari realitas masyarakat. Begitupun dengan elit local, jangan jadikan agama sebagai jubah hanya untuk meraih kekuaasaan serta melegitimasi segala tindakan yang melenceng dari nilai-nilai kemanusiaan akan tetapi pemihakan pemerintah daerah ditengah otonomi daerah pun haruslah keberpihakannya pada kemanusiaan. Jika tidak demikian maka setiap upaya yang dilakukan, senantiasa akan menjauhkan pada tujuan subtantif keberagamaan, pun tujuan daripada diberlakukannya otonomi daerah sangatlah kontra produktif dengan nilai-nilai Agama yang  dititipkan Tuhan kepada mahluk-Nya untuk tujuan kemanusiaan manakala menebarkan dehumanisasi (Baca; Islam dan Humanisme) di alam semesta ini..

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Juli 25, 2012 inci AGAMA

 

PENDIDIKAN; LONCENG KEMATIAN GAGASAN

Oleh : Muhamad Yunus A. Rj
Lembaga Pendidikan & Advokasi Rakyat (LEMPARA)

 “Dimuka bumi ini tidak satupun yang menimpa orang-orang tak berdosa separah KAMPUS. KAMPUS adalah PENJARA, tapi dalam beberapa hal KAMPUS lebih kejam ketimbang PENJARA. Di penjara misalnya, Anda tidak dipaksa membeli dan membaca DIKTAT para sipir atau kepala penjara”

Kini kita dihadapkan pada sebuah fakta paradoksal, bahwa pendidikan menjadi salah satu kendala utama bagi usaha mencapai kecerdasan serta kebebasan dalam berpikir, kata Bertrand Russel. Terus menerus mempertanyakan adalah kunci pertama menuju kebijaksanaan, maka saya ingin mengajukan pertanyaan upaya menggapai kebijaksanaan itu. Bukankah pendidikan dapat dipakai sebagai jimat peramal si terdidik?

Itulah masalahnya; Tidak ada “Universitas Tiran” dan tidak ada “Institut Konglomerat”, toh nyatanya kita punya persediaan Tiran yang tak pernah habis dan stok “Juragan Besar” yang berlimpah ruah; itupun belum terhitung para Asisten Tiran dan Asisten Juragan digudang-gudang pendidikan dan poleksosbudhankam.

Lembaga pendidikan dalam arti yang luas mencakup masyarakat dan bentuk kesosialan, berusaha membuat rute yang pasti, atau setidaknya diniatkan agar pasti, hingga masa depan anak manusia agak terbayang, kecuali bila sang anak manusia terlalu orisinal, kecuali takdir tak sudi disiasati, kecuali bila Tuhan menghendaki skenario yang berbeda, dan sebagainya. Terlalu banyak perkecualian yang mesti diberi konsesi.

Pendidikan harus terus diberi arah yang secara teoritis jelas, bahkan acap kali perlu diberi nama yang tegas, agar dapat dikenal dalam peta. Dan semua ini berawal dari gagasan tertentu,Pendidikan itu sendiri pun adalah Suatu Gagasan. Di dalamnya bakat, tekad, ketersediaan, dan faktor ‘kebetulan’ terpaksa disisihkan meski bukan dianggap tidak ada. Tinggal gagasan yang kurang lebih telah “sucihama” yang berang di jambangan teori pendidikan, untuk di pelajari, diperdebatkan dan di uji coba.

Gagasan, kata orang, mustahil mekar kalau di gembok dalam kandang. Gagasan hanya tumbuh dewasa bila dilepas keluyuran seperti ayam kampung, diberi ruang supaya segala macam zat bebas bertandang, diizinkan berbenturan, bertabrakan, mati alami atau musnah kecelakaan. Tak banyak yang bersedia menerima wejangan semacam itu karena gagasan tak bisa diasuransikan. Sekali gagasan keluar dari sarang, resiko selalu menghadang, gagasan yang bugar dan berotot barangkali dapat lolos dari marabahaya dan paling-paling hanya lecet disana-sini, namun gagasan yang ringkih gontai nyaris tak berpeluang melangkahi masa kanak-kanaknya, bahkan ide yang lahir prematur hampir bisa dijamin tewas ditengah jalan. 

Gagasan pun, konon, niscaya mengalami padu-padan jika sasarannya adalah penemuan yang berguna bagi kemanusiaan. Kata kerja latin “Cogito” yang artinya kira-kira “berpikir”, bila ditapak tilas asal usulnya akan berpangkal pada frasa mengguncang bersama-sama. Santo Agustinus dari Hippo (354-430 S.M) mengimbuhi etimologi itu dengan lacakan keakar kata “Intelligo-nalar, kecerdasan” yang maknanya menentukan pilihan di antara… seluruh peserta dalam proses berpikir, termasuk semua komponen yag dipakai untuk mengubah gagasan, hanya menghasilkan manfaat bila bersekutu atau berserikat dengan peserta-peserta lain. Temuan-temuan akbar sepanjang sejarah manusia, umpanya temuan bahwa Bumi ini bulat, selalu merupakan terapan beberapa gagasan. Gagasan beroperasi dalam bentuk jamak, bahkan pembentukan gagasan pada detik ini pun, sesungguhnya, mesti digagas sehubungan dengan gagasan yang telah lahir sebelumnya, mungkin seribu tahun silam sudah pernah digagas orang.

Pendidikan adalah buah pikiran manusia sejak sangat awal, setidaknya kita temukan kata sejarah, umur Masehi saja sudah lebih dari dua ribu tahun. Mengherankan bila ternyata selama ini gagasan yang diakaui sebagai ide terbaru bukan anak cucu atau minimal, lewat perkawinan, masih berkerabat dengan ide-ide pendahulunya; dan aneh bila gagasan yang dikurungi dan diusahakan diisolasi benar-benar perawan murni-produk asli yang sejarahnya bisa diceritakan rinci sampai kedetik-detiknya. Serimpi hanyalah serimpi setelah manusia-manusia jawa menuntaskan perjalanan panjang tari-menari, bahkan Nasionalisme paling nekat Pun tak akan mampu menceraikan CN 235 dari alur sejarah penerbangan yang dianggap berawal dari gejolak dua montir inovatif Amerika, Wilbur dan Orville Wright yang sekedar pengejawantahan impian purba Ikarus, Mitologi Yunani, Mahabarata, Ramayana, dan sebagainya,

Gagasan-gagasan pendidikan pun bukan perkecualian, apa yang kini merupakan barang siap-pakai (siap-pakai dan siap-saji pun bukan penghuni kamus Pra industri) adalah olahan bahan-bahan baku yang panjang sejarahnya, dan kelak barang jadi di zaman kita ini akan menjadi bahan mentah buat sajian berikutnya.

Sepanjang perjalanan, rute tertentu dihindari, jalur tertentu diikuti, jalan raya ditutup, jalan setapak diperlebar, pemukiman digusur, rimba raya dilindungi, rambu-rambu di tancapkan, petunjuk-petunjuk jalan dibuang, pendeknya, dilakukan perubahan-perubahan dan diambil pilihan-pilihan. Namun dalam proses tiada akhir itu senantiasa ada hal-hal tertentu yang tak beranjak. Ada kemantapan lokal; mobil-mobil bisa melintas dari sisi kiri ataupun kanan jalan. Ada ketetapan universal; semua pengemudi harus punya SIM. Pendidikan adalah salah satu wilayah dimana seperti kata H.L. mencken “Selalu diadakan penyelesaian yang jitu, rapi, sederhana, dan selalu keliru”. Karenanya pendidikan pendidikan mesti digagas dan dipikirkan sehati-hati mungkin, meski tak terelakan selalu ada yang luput sebagaimana laiknya fitrah hasil kebijakan manusia. Sayang sekali dalam pendidikan kita, kita bersama orang-orang yang malas berpikir, memenjarakan gagasannya, atau mungkin mereka takut berpikir kritis, dan kalau demikian itulah lonceng kematian gagasan.

Iqra’ (Bacalah) !!!

Semoga memberi manfaat dan menambah gagasan tokoh intelektual muda dewasa ini !!!

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Juli 25, 2012 inci PENDIDIKAN

 

SINGKIRKAN PENDIDIKAN MODEL ANJING

Oleh : Muhamad Yunus A. Rj
Lembaga Pendidikan & Advokasi Rakyat (LEMPAR)

BELAJAR DARI HIROHITO SANG KAISAR JEPANG

Potret pendidikan di Indonesia tak ubahnya seperti benang kusut, pendidikan masih berkutat pada masalah belum tercapainya pemerataan dan rendahnya kualitas out put pendidikan. Pada pengalaman Negara lain bisa dijadikan pelajaran berharga yang perlu untuk dinternalisasikan demi meningkatkan kualitas pendidikan ditanah Nusantara ini. Salah satu Negara yang bisa untuk dijadikan patron adalah Negara Jepang. Ketika pesawat AS menghujani Hirosima dan Nagasaki dengan Bom Atom, kaisar jepang Hirohito, tiarap dilantai. Konon tidak lama kemudian dia berdiri tegak, kalimat pertama yang diucuapkan dengan penuh emosi adalah “Berapa Guru yang masih hidup? Kita akan segera bangkit dan akan menjadi Negara terhormat di Muka Bumi”. Ungkapan ini yang memperlihatkan penghormatan yang begitu tinggi terhadap para Guru dalam meningkatkan kualitas pendidikan demi menyongsong masa depan Bangsa yang lebih baik kedepannya.

POTRET PENDIDIKAN INDONESIA

Ungkapan tersebut pula merupakan spirit bagi penguasa dan lautan rakyat Indonesia agar memberikan Perhatian penuh kepada para guru yang merupakan tenaga pendidik yang akan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bentuk pengimplementasian amanat konstitusi. Pendidikan tidak seharusnya dikrangkeng oleh rekayasa politik keuasaan yang cenderung menggunakan logika kalkulatif ala kapitalisme yang sangat kejam mengeksploitasi kemanusiaan hanya untuk mengupulkan modal dan menjadikan pedidikan sebagai ladang bisnis. Wajah pendidikan sudah saatnya untuk dirubah, perubahan ini merupakan kewajiban bagi penguasa serta seluruh elemen lainnya untuk membebaskan pendidikan dari “badai kekuaasaan, Tsunami kapitalisme yang puncaknya pada liberalisasi pendidikan” demi perbaikan wajah Tanah Nusantara yang sudah sangat Suram.

Gejolak perubahan dalam kaitan dengan Pendidikan meniscayakan adanya daya dukung dari penguasa sebagai upaya maksimalisasi seluruh institusi pendidikan dalam menjalankan kinerjanya untuk mewujudkan gerak perubahan tersebut. Alih-alih penguasa mendorong gerak perubahan, yang namapak justru penguasa takut akan perubahan. Ada apa dengan penguasa ? kenapa mereka takut akan teraktualnya perubahan ? padahal perubahan itulah yang yang diharapkan oleh lautan rakyat Indonesia. Apakah karena adanya tekanan dari kekuatan “invisible hands” yang digemabar-gemborkan oleh Adam Smith ? yang kian menggurita diTanah Nusantara ini sebagai sebagai bentuk Varian Gerakan Kapitalism,  atau Apakah memang penguasa ingin menciptakan kebodohan dan kemiskinan secara Struktural seperti ungkapan Fahri Ali (baca; Islam dan Transfomasi social budaya) ? demi memapankan “Status quonya”. Tentu Hati Nurani dan Akal Sehat kita yang bicara…

Oleh karena pendidikan terjebak pada paradigm kapitalistik yang dipertautkan dengan Rekayasa politik kekuasaan yang dikemas sedemikian rupa dengan memberikan hegemoni makna (Hegemony of Meaning) demi untuk melestarikan kekuasaan dan modal yang akan menimbulkan kesenjangan yang luar biasa pada tataran masyarakat. Untuk itu Ivan Illich mengatakan bahwa“misi lembaga pendidikan modern sebenarnya mengabdi pada kepentingan pemilik modal dan bukan sebagai sarana pembebasan bagi kaum tertindas”, rekayasa kepentingan maha besar telah menjadikan “Sekolah dan perguruan Tinggi sebagai institusi formal menjadi lembaga yang anti kritik, padahal pendidikan (Ilmu) adalah bebas kritik” hal ini menjelaskan bahwa kini nalar kritis telah dibungkam bahkan dibunh hanya demi kepentingan. Dengan sangat Garang” Everett Rimer menyerang bahwa sekolah Telah Mati (School is dead). Terlihat sangat besar Mosi ketidakpercayaan para tokoh pendidikan terhadap konsep dan praktik pendidikan dari masa silam hingga pada konteks kekinian.

MODEL PENDIDIKAN YANG MEMERDEKAKAN

System pendidikan modern telah berhasil menindas kaum miskin dan bodoh agar mereka tak mampu hidup mandiri. Mengapa demikian ? dalam krtiknya Romo Wahono system pendidikan dinegeri ini lebih berpola “Pendidikan Model Anjing” (Baca;Politik Pendidikan Penguasa) model pendidikan seperti ini lebih bersifat hafalan, kepatuhan secara totalitas, system komando, subordinasi, dan sitem militeristik. Siswa bukan dijadikan sebagai subjek mandiri, melainkan objek kepatuhan sang Guru, peserta didik harus tunduk, patuh, taat secara totalitas kepada tenaga pendidik. Kemerdekaan, kebebasan mereka dirampas serta nilai-nilai yang bersifat humanis seharus nya terpatri dalam diri pendidik yang merupakan contoh tauladan entah kemana. Siswa yang patuh akan memperoleh hadiah, sedangkan sisawa yang kritis yang mempertanyakan ketidak wajaran harus dibungkam dan dihukum, bahkan tenaga pendidik tidak segan menggunakan cara-cara jalanan dalam bentuk premanisme demi menuntut kepatuhan dan ketaatan tersebut.

Seharusnya, pendidkan mampu memerdekakan dan membebaskan seseorang dari ketergantungan kuasa modal dan subordinasi kekuasaan. Pendidikan harus mampu memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, pendidikan harus mampu “mendekonstruksi rakayasa politik kekuasaan” para elit yang telah bahkan senantiasa melakukan “Eksploitasi Kemanusiaan”. Pedidikan yang memerdekakan laiknya “Ayam yang mengajari anaknya mengenali realitas kehidupan”. Induk semang Ayam mendidik anak-anaknya dari dan untuk kehidupan itu sendiri. Anak ayam dibiarkan mencari makan secara mandiri sedangkan induknya mengawasi. Pola ini menuntut guru bersikap sebagai teman atau rekan bermain anak didik, dan bukan sebagai komandan yang setiap perintahnya harus dituruti. Guru bukan lagi figure yang harus ditakuti tetapi menjadi mitra siswa yang dicintai. Dengan demikian paradigm pendidikan hendaknya berubah ; guru bukan menjadi satu-satunya kebenaran, tetapi kebenaran harus dicari bersama-sama.

Pendidikan seperti ini dalam “Bahasa Freire adalah pendidikan yang terkait dengan realitas kehidupan”. Realitas kehidupan merupakan keharusan untuk dikenali dan dipahami, jangankan manusia, hewan (Ayam) saja mengajari anaknya untuk mengenali realitas kehidupan. Menurut Romo Mangunwijawa, pendidikan adalah proses awal dalam usaha menumbuhkan kesadaran social dalam setiap manusia sebagai pelaku sejarah. Kesadaran social hanya akan bias dicapai apabila seseorang telah berhasil membaca realitas perantaraan dunia disekitar mereka. kenyataannya, di Negeri ini pendidikan jauh dari realitas kehidupan social kemasyarakatan. Ini memebuat institusi pendidikan formal kita tak mampu berkreasi dan berinovasi karena pendidikan hanya memperoleh ijasah, gelar bukan proses pemerdekaan yang membawa pada pencerahan.

Disisi lain, problem kita sekarang adalah bagaimana melibatkan anak-anak kaum miskin, pandai atau tidak, untuk mengenyam pendidikan bermutu. Seringkali slogan pemerintah terjebak pada orang miskin yang pandai akan dibiayai. Persoalannya bagaimana dengan anak miskin yang bodoh lanatara dia miskin ? apakah pemerintah tidak mau bertanggung jawab atas masa depannya ? kapankah kaum miskin menikmati hak yang sama dengan kaum kaya dalam pendidikan ? pertanyaan inilah sebenarnya yang harus direfleksi oleh mereka yang saat ini berkuasa. Bila mereka (penguasa) mau berusaha dan mewujudkannya, pasti bisa merumuskan problem solving atas musibah kemanusiaan yang melanda Rakyat Jelata, Kaum Proletariat atau kelompok Mustadaafin. Menyelamatkan serta melepaskan mereka dari belenggu kebodohan dan kemiskinan adalah upaya dalam mewujudkan Transformasi Social dalam wilayah Praksis. Pendidikan yang telah dikrangkeng oleh paradigm kapitalistik harus dibebaskan, dimerdekakan demi perjuangan kemanusiaan. Perlawanan terhadap kapitalisme, penguasa yang dzalim, atau siapapun yang melakukan eksploitasi kemanusiaan menjadi sebuah keharusan dan merupakan misi suci kenabian dalam kerangka mencerahkan lautan manusia guna teraktualnya nilai subtantif pendidikan. Maka untuk mewujudkan Perubahan kini harus dimulai dari pendidikan yang trasformatif.

***SELAMAT MEMBACA***

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Juli 25, 2012 inci PENDIDIKAN

 

Hello world!

Welcome to WordPress.com! This is your very first post. Click the Edit link to modify or delete it, or start a new post. If you like, use this post to tell readers why you started this blog and what you plan to do with it.

Happy blogging!

 
1 Komentar

Ditulis oleh pada Juli 25, 2012 inci PENDIDIKAN